Oleh: Taufik Adanur
Selasa, 21 Juli, pukul 14.00 WIB, Live Streaming di Aula Kesbangpol Aceh memenuhi undangan sebagai pembicara, terasa berat membingkai narasi. Tema di atas cukup mengelitik, bagaimana tidak, di tengah pandemi Covid-19 kita akan memperingati 75 Tahun Indonesia Merdeka. Sementara Aceh juga menyambut 15 tahun perdamaian GAM dan RI, yang sejak 2006 dirayakan beriringan. Dua momentum bersejarah ini akan dirayakan dalam kondisi Pandemi Covid-19.
Pertanyaannya, seberapa kuatkah kita kokoh menjaga persatuan dan kesatuan bangsa di tengah pandemi tersebut ?
Saudara, bukan hanya Indonesia, hampir semua negara menghadapi wabah ini. Presiden Jokowi sejak maret lalu telah menetapkan Covid-19 ini sebagai “Bencana Nasional”.
Sejauh ini, berdasarkan data Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Covid 19, tanggal 20 Juli, melaporkan 86.521 terjangkiti wabah corona. Dari jumlah itu, dapat disembuhkan 45.401, dan sebanyak 4.143 meninggal dunia.
Kita tau, Virus Covid-19 tidak mengenal segmentasi manusia, semua orang berpeluang terjangkit, sebab virus ini terus bermutasi.
Kita, di Aceh, saat ini, suspect semakin bertambah. Jumlah yang terinfeksi sejak maret lalu sudah mencapai 148 orang. Diantaranya 9 orang meninggal, 68 sembuh, dan selebihnya masih dirawat di sejumlah rumah sakit rujukan pasien Covid 19 yang tersebar di Aceh.
Tentu, kita sangat khawatir, virus ini akan bertambah dan menyerang kita semua. Berbagai upaya telah dilakukan. Pemerintah telah menetapkan protokol kesehatan. Diantaranya pembatasan sosial berskala besar dan sekarang news normal. Bahkan pemerintah telah mengulirkan sejumlah program bantuan sosial terhadap masyarakat ekonomi lemah dalam upaya proteksi dampak covid-19 ini.
Pandemi Covid 19 telah berdampak pada tatanan berbangsa dan bernegara. Sejumlah tenaga kerja dirumahkan. Sektor publik, sektor jasa dan dunia usaha cukup berdampak. Guncangan ekonomi melanda. Kehidupan ekonomi masyarakat terpuruk.
Bagaimana di Aceh? Alhamdulillah, suasana kita masih terkendali. Bukan tidak mungkin, Aceh akan berdampak masif dan laten jika kita abai dengan protokol kesehatan dan kebijakan pemerintah yang tendensius.
Sejumlah program pembangunan infrastuktur dialihkan melalui recofussing anggaran untuk mengatasi dan mencegah pandemi virus corona ini.
Sesuai arahan pemerintah pusat, arah kebijakan anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah difokuskan untuk penanganan dampak covid-19.
Aceh menganggarkan 1,74 Trilyun. Kita harapkan benar-benar memberi manfaat, fokus dan tepat sasaran, serta dikelola dengan benar.
Apakah pengalihan anggaran belanja negara yang begitu besar itu akan berdampak pada upaya pencegahan wabah corona ini?
Namun, yang pasti, Presiden Jokowi marah-marah pekan lalu. Bahkan, tadi malam kita dapat informasi struktur kendali penangganan gugus covid 19 ini telah telah mengalami perubahan signifikan, baik struktur, tatakelola dan Pendekatan. Nampak upaya pemulihan ekonomi menjadi stressing akibat dampak corona ini.
Lalu, apa kaitannya Covid 19 ini dengan momentum 75 Tahun Indonesia Merdeka ?
Tentu, persatuan dan kesatuan sangat dibutuhkan dalam menghadapi Covid-19 ini. Nuangsanya berbeda barangkali. 17 Agustus tahun ini menjadi momentum bagi segenap anak bangsa untuk merenugi kembali perjalanan bangsa ini.
Apakah kita telah merdeka sebagai sebuah bangsa? Apakah berbagai persoalan bangsa saat ini telah menghantarkan kita sebagai sebuah bangsa yang benar-benar merdeka, berdaulat, adil makmur dan beradab ? atau rasa nasionalisme kita semakin pupus di tengah pandemi ini ?
Nampak solidaritas kita sebagai bangsa yang berlandaskan nilai-nilai kemanusiaan semakin bergeser. Masyarakat kita semakin tidak percaya pada nilai-nilai kemanusiaan karena pemerintah tidak hadir sepenuhnya. Mereka, aparatur pemerintah, hanya berpikir bagaimana menghabiskan anggaran dan keuntungan pribadi dan atau kepentingan politik kelompok, serta partainya ditengah pandemi virus corona ini.
Dalam konteks Aceh telah memunculkan dinamika sosial tertentu. Ada yang percaya, ada yang abai, menganggap enteng, bahkan baru-baru ini dua jenazah positif di Aceh Besar di ambil paksa tanpa mengindahkan protocol covid-19. Sebelumnya, jenazah seorang warga Aceh Utara juga tanpa mengindahkan protokol, untunglah hasil swepnya negatif.
Pemerintah yang bermain-main dengan anggaran dan masyarakat yang abai, maka sangat berpotensi lahirnya kegaduhan, polimek dan rasa tidak percaya. Bahkan, masyarakat melihat pandemi ini hanya akal-akalan pemerintah. Ini harus diluruskan agar tidak menciptakan preseden buruh di tengah-tengah masyarakat.
Kiranya, baik di Aceh maupun di seluruh Indonesia, pandemi ini menjadi refleksi monumental dalam upaya membentuk kesadaran, persatuan dan kesatuan dalam upaya memperkokoh kesadaran berbangsa dan bernegara.
Jika, aparatur negara dalam sikap, etika dan lalai menegakkan aturan, maka sangat mungkin kita akan berhadapan situasi laten. Seterusnya berdampak pada kesadaran berbangsa dan bernegara, apalagi dalam kondisi Aceh, dimana agenda perdamaian juga perlu sentuhan. Menjaga Konstitusi RI dan Perdamaian Aceh seutuhnya juga cukup krusial mendapat perhatian khusus.
Akhirnya, mari kita songsong dan sambut dengan duka cita 17 Agustus ditengah “bencana nasional” ini, dan kita di Aceh juga merayakan lahirnya MoU Helsinki sebagai pondasi kokoh dalam merawat perdamaian, persatuan dan kesatuan sebagai bangsa yang besar. Semoga
Penulis Merupakan Dosen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Malikussaleh