LINTAS NASIONAL – JAKARTA, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siroj meminta dosen agama di fakultas umum tingkat universitas untuk tidak terlalu banyak mengajarkan Aqidah dan Syariah. Menurutnya, hal itu dapat meningkatkan risiko peningkatan radikalisme.
“Bagi dosen agama yang mengajar agama di bukan fakultas agama, tidak usah banyak-banyak bincang akidah dan syariah. Cukup dua kali pertemuan. Rukun iman dan [rukun] islam,” Said Aqil dalam sebuah diskusi daring, Senin 5 April 2021.
“Kecuali [jurusan] ushuluddin, kecuali [jurusan] fiqih atau tafsir hadis. Itu terserah, itu harus mendalam. Tapi kalau dosen yang mengajar di fakultas yang umum, Teknik, hukum misalkan enggak usah banyak-banyak tentang aqidah dan syariah, cukup dua kali,” tuturnya.
“Kenapa? Kalau ini diperbanyak, nanti isinya, surga-neraka, Islam, kafir, lurus, benar, sesat. Terus-terusan bicara itu radikal jadinya,” ucap dia.
Lihat juga: Cegah Radikalisme, PBNU Minta Kampus Ubah Kurikulum Agama
Berdasarkan Quran dan Hadist, Said Aqil menjelaskan bahwa manusia tidak hanya ditugaskan untuk melakukan hal-hal terkait teologi atau ‘ilahiyah’ , tetapi juga menyangkut kemanusiaan.
“Agama bukan dari langit, tapi dari manusia sendiri,” jelasnya.
Ia memberi contoh, seharusnya dosen-dosen harus mengembalikan masa kejayaan peradaban Islam. Delapan abad yang lalu, kata dia, intelektual Islam lebih maju dari Eropa dan China.
“Waktu itu Eropa masih tidur, China masih tradisional. Islam sudah maju luar biasa,” ucapnya.
“Bagaimana para ulama para pemikir para teknokrat sudah mencapai kemajuan teknologi yang luar biasa,” tambah dia.
Untuk itu, dia mengingatkan kembali agar para dosen, terutama dosen dari kalangan PMII dan NU untuk memperluas keilmuan di luar keagamaan juga. Selain itu juga ia mendorong agar terus berinovasi bukan hanya sekadar melakukan rutinitas mengajar biasa.
Terpisah, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengatakan moderasi beragama menjadi salah satu pekerjaan rumah (PR) terbesar bagi bangsa Indonesia guna menangkal penyebaran paham radikalisme.
Menurutnya, saat ini Indonesia terjebak dalam dua paham ekstrem, yakni ekstrem liberal dan konvensional. Oleh karena itu, perlu ada moderasi yang masif.
“Soal moderasi beragama, ini menjadi PR besar kita, bukan hanya PR besar Kemenag, tapi juga PR bangsa dan negara ini,” kata Yaqut saat menyampaikan sambutan dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Kemenag, Senin 5 April 2021.
Menurut Yaqut, dua titik tersebut harus disatukan dalam satu ruang moderasi beragama. Ia menegaskan, moderasi beragama ini merupakan salah satu ikhtiar untuk menjadikan pemahaman dan perilaku keagamaan Indonesia berada di tengah-tengah.
“Jadi tidak ekstrem kiri, tidak ekstrem kanan. Tidak liberal, tidak juga terlalu konvensional. tapi berada di tengah-tengah,” ungkap dia.
Lebih lanjut, Ketua Umum GP Ansor itu menyampaikan bahwa Kemenag berencana mencanangkan tahun toleransi pada tahun 2022. Saat ini pihaknya masih mempersiapkan program tahun toleransi itu.
“Kita sedang siapkan seperti apa tahun toleransi itu. Nanti di ujung ada namanya religiousity index,” tutur Yaqut.
Nantinya, religiousity index tersebut akan mengukur sejauh mana indeks keberagamaan hingga perilaku keagamaan masyarakat Indonesia.
“Jadi kita akan tahu sejauh mana kinerja kita sampai 2024 dari indeks yang akan kita siapkan ini. Salah satu tujuan indeks untuk itu, untuk beri penilaian atas apa yang kita lakukan dan respons masyarakat terhadap apa yang sudah kita lakukan,” ungkapnya. (cnn)