Ucapan Bela Sungkawa Perkim Bireuen untuk Tusop
Opini  

TA Khalid Jangan Latah Soal BBTNGL

Oleh: Fauzan Azima

Amanah Wali keu bansa Atjeh! Peuseulamat uteun Atjeh, seubab uteun nyan nakeuh salah saboh pusaka keuneubah indatu njang akan tapulang keu aneuk tjutjo geutanyoe di masa ukeu” demikian amanah Wali Nanggroe, Teungku Hasan Muhammad di Tiro yang ditandatangani pada tanggal 15 Juni 2009 di Stockholm, Swedia.

Takdir Allah! Ini adalah amanah Wali Teungku Hasan Tiro terakhir, setelah itu tidak ada lagi amanah tertulis. Amanah itu diberikan kepada kami yang sedang gencar-gencarnya mengembalikan pengelolaan hutan Aceh kepada Aceh sendiri agar orang Aceh tidak menumpang hidup di tanahnya sendiri.

Berangkat dari fikiran sederhana; luas wilayah Aceh 5,84 juta hektar dan kawasan hutan 3,5 juta hektar. Dengan mengelola hutan saja, berarti Aceh telah berdaulat 75 proses atas tanahnya. Sebaliknya memberikan pengelolaan hutan Aceh kepada pihak Kementerian Kehutanan sama saja mengurangi keudaulatan Aceh atas tanahnya sebanyak 75 prosen.

Memberikan pengelolaan hutan Aceh kepada Jakarta bertentangan dengan semangat MoU Helsinky. Pemerintahan Aceh berhak sebagai “pengelola” atas segalanya, kecuali pertahanan, keamanan, kehakiman, agama, fiskal dan hubungan luar negeri. Meskipun dalam perjalanan, emplementasinya dalam UUPA tahun 2006 seperti ular yang kepalanya dibiarkan liar, tapi ekornya masih dipegang dengan menempatkan pada sebagian besar pasal-pasalnya dengan standar, prosedur dan norma.

Menghapus standar, prosedur dan norma dari UUPA adalah perjuangan selanjutnya dengan keterlibatan semua pihak. Ambil dulu yang sudah ada kewenangan untuk Aceh, selanjutnya kreatifitas bangsa Aceh untuk meraihnya, sehingga sesuai dengan cita-citanya.

Tindakan T. A. Khalid sebagai wakil kita yang terhormat di DPR-RI justru seperti melepaskan punai di tangannya, juga tidak berharap burung yang terbang. Kita belum mendapat penuh cita-cita kedaulatan atas tanah, beliau sudah berusaha melepaskannya kembali. Sungguh perbuatan latah.

Fakta lainnya, Jakarta gagal menjaga hutan Aceh. Hari ini, berdasarkan laporan aktivis yang peduli kepada hutan Aceh, kalau dikomulatifkan sedikitnya dalam sehari kita kehilangan tutupan hutan 52 hektar. Akibat lanjutnya banjir di mana-mana, konflik satwa dan manusia, perubahan iklim, gagal panen, serangan hama pada tanaman, kekurangan air bersih dan air persawahan sudah menjadi hiasan di negeri kita tercinta ini.

Saya kira sejak orde baru dari sektor hutan saja, sudah ribuan triliunan rupiah uang yang sudah diangkut ke luar Aceh. Sementara anak-anak negeri menjadi penonton, jangankan untuk menikmati hasil penjualan pohon-pohon besar, rantingnya pun kalau kita ambil akan menjadi masalah.

Peristiwa masa lalu sudah cukup menjadi pelajaran, betapa masyarkat Seurah Reje, Seurah Gele dan Tanah Merah (Masyarakat yang bermukim di bantaran Sungai Jambo Aye) terpaksa menyerang pos TNI dengan tangan kosong pada Jum’at, 29 Ramadhan 1416 H atau pada 19 Pebruari 1996 karena kayu-kayu mereka disita pada tiga hari menjelang lebaran, pada 27 Ramadhan 1416 H atau 17 Pebruari 1996. Sementara masyarakat belum membayar zakat serta belum membeli pakaian baru untuk anak istri.

Semua itu karena pengelolaan di tangan pihak lain sehingga menjadi alat legitimasi untuk berbuat semena-mena kepada masyarakat. Cukup sudah jangan ada lagi pertumpahan darah di bumi Aceh yang mulia ini.

Seharusnya perwakilan kita yang duduk di DPR RI, mempertanyakan, apakah masih ada dana dari UNESCO yang kabarnya setiap tahunnya mencapai jutaan dollar atas penetapan Leuser sebagai warisan dunia. Kalau ada berikan kepada Aceh yang mengelola dana tersebut. Itu baru paten!

Akhirnya, kepada siapapun wakil rakyat yang duduk baik DPRK, DPRA dan DPR-RI memikirkan kembali untuk memperkuat kewenangan Aceh, terutama dalam pengelolaan sumber daya alamnya agar kita tidak dicap sebagai orang yang “peubloe nanggro” dan sekali lagi jangan latah memberikan pengelolaan sumber daya alam Aceh kepada pihak manapun di luar Aceh.

Mendale, Kamis, 2 April 2020

Penulis merupakan Mantan Panglima GAM Linge