Oleh: Farid Gaban
LINTAS NASIONAL, Per definisi, terorisme adalah kekerasan dengan motif politik (termasuk ideologi dan agama). Teror dilakukan untuk mencapai sasaran politik tertentu: misalnya menuntut kemerdekaan.
Taktik teror ini umumnya dipakai oleh kelompok kecil (seperti gerakan separatis) ketika melawan negara induk. Mereka menyandera atau menyerang target sipil yang random untuk meningkatkan daya tawar politik.
Teror lewat aksi militer menentukan daya tawar di meja perundingan. Itu sebabnya gerakan kemerdekaan umumnya memiliki dua sayap: sayap militer dan sayap politik.
Gerakan kemerdekaan Irlandia, misalnya, punya Sein Fein (sayap politik) dan Tentara Irlandia Utara (sayap militer). Demikian pula dengan gerakan serupa di Mindanau, Palestina, bahkan Aceh.
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dulu juga diberi label teroris oleh Pemerintah Indonesia. Mereka memiliki sayap militer di gunung dan pedesaan Aceh, serta sayap politik di pengasingan (Eropa).
Meski umumnya dipakai kelompok kecil, bukan berarti negara induk dan kelompok besar tidak pernah melakukannya. Mereka menyerang target sipil seolah-olah itu dilakukan oleh kelompok separatis. Tujuannya: memperoleh dukungan publik kuat untuk menumpas separatisme secara lebih keras dan meyakinkan.
Pada 13 September 2000, bom meledak di Bursa Efek Jakarta dan menguncang ekonomi nasional. Pemerintah Indonesia menuduh GAM Aceh pelakunya. Gelombang amarah publik dipakai oleh pemerintah untuk menjustifikasi daerah operasi militer (DOM) dan represi militer di Aceh.
Aksi teror berbau fitnah atau lempar batu sembunyi tangan bahkan lebih sering dilakukan oleh kelompok atau negara besar.
Di level internasional, Amerika, misalnya, pernah menenggelamkan kapalnya sendiri di Teluk Tonkin, Laut China Selatan, dan menuduh Vietcong (Komunis Vietnam) pelakunya. Itu menjadi dalih serangan besar-besaran Amerika ke Vietnam.
Di level yang lebih kecil, Peristiwa Malari (Malapetaka 15 Januari 1974) diyakini merupakan gerakan teror palsu untuk mendiskreditkan demonstrasi mahasiswa. Peristiwa itu memberi pemerintah justifikasi untuk menindas gerakan mahasiswa dan memenjarakan para tokohnya.
***
Sekali lagi: terorisme adalah kekerasan bermotif politik. Tanpa motif politik, bukan terorisme.
Tindakan seorang psikopat misalnya, yang tidak punya motif politik, bukanlah terorisme.
Karena merupakan kekerasan bermotif politik, maka politik pula yang akan menjadi dasar solusinya: negosiasi tuntutan politik dan menyediakan saluran damai aspirasi politik.
Kita punya pengalaman untuk itu, berkaitan dengan GAM misalnya. GAM ingin Aceh merdeka, sementara Indonesia bersikeras “NKRI Harga Mati”. Tapi, negosiasi politik berlangsung belakangan, kompromi pada akhirnya ditemukan, dan sekaligus menghentikan teror kedua pihak.
Di beberapa negeri lain, terorisme kelompok separatis diredam dengan cara memberi saluran politik damai: yakni lewat referendum. Misalnya Quebec di Kanada.
Penggemar klub Barcelona tahu bahwa Cataluna itu secara politik bukan Spanyol. Basque dan Cataluna terus berusaha memerdekakan diri dari Spanyol, bukan dengan cara kekerasan, namun lewat referendum.
Singkat kata, kita tak akan bisa membasmi terorisme tanpa mengudari motif atau mengetahui motif politik sebenarnya para pelaku.
Kita juga tak akan bisa memecahkan terorisme tanpa ada kawan yang kongkrit untuk negosiasi politik (sayap politik).
Selama 20 tahun kita telah diharu-biru terorisme, yang memakan begitu banyak korban nyawa, membawa banyak kesedihan, memicu sikap curiga antar umat beragama dan menggerus energi bangsa kita.
Mungkinkah solusi serupa ditemukan? Apa motif politik para teroris-teroris belakangan ini? Adakah sayap politik mereka yang bisa diajak negosiasi?
Di situlah letak masalahnya. Terorisme Islam di Indonesia agak ajaib: motif dan tuntutan politik mereka tidak jelas.
Sering disebut disebut oleh polisi dan badan intelijen, bahwa motif para teroris adalah akan mendirikan negara Islam atau khilafah. Tapi, motif itu terlalu abstrak untuk bisa dinegosiasikan. Di mana khilafah akan didirikan?
Teror Islam di Indonesia juga tidak koheren (nyambung) antara aksi dengan tujuan. Misalnya, bagaimana bom bunuh diri Gereja Katedral Surabaya atau menyerang sendirian Mabes Polri bisa mendukung berdirinya khilafah?
Dalam banyak kasus, seperti dua aksi mutakhir di Makassar dan Mabes Polri, tuntutan politik bahkan justru absen. Orang hanya tahu motif dari surat wasiat yang disodorkan polisi belakangan.
Motif politik tindakan terorisme lebih sering diungkapkan polisi dan para pengamat dibanding oleh tersangka teroris sendiri.
Lebih dari itu, tidak ada organisasi (sayap politik) yang bisa menampung leverage dari aksi teror. Dalam kasus GAM kita masih bisa menemukan kawan negosiasi: Wali Naggroe di pengasingan.
Kita tidak menemukan kawan negosiasi seperti itu dalam kasus-kasus teror belakangan ini.
Disitulah letak masalahnya, mengapa teror di Indonesia berlangsung lama dan sulit dicari solusinya.
Kalau tidak ada tuntutan politik dan tidak jelas motif politiknya, serta tak diketahui lawan negosiasi politiknya, ya artinya kita sedang melawan hantu.
Dan hantu bisa diciptakan oleh siapa saja, untuk tujuan apa saja. (Red)
Tulisan ini Dikutip dari laman Facebook Farid Gaban