Iklan Lintas Nasional
Daerah  

Tiyong Minta Pemerintah Pusat Tuntaskan Isi Perjanjian Damai Aceh

Anggota DPR RI Fraksi Partai Golkar, Samsul Bahri Bin Amiren Saat Membuka Kegiatan Penguatan Relawan Gerakan Kebajikan Pancasila, pada Selasa 23 September 2025 di Kampus Universitas Islam Aceh. Foto : Rahmad Maulida

LINTAS NASIONAL, BIREUEN – Anggota Dewan Perwakilan Rakat Republik Indonesia (DPR RI), Fraksi Partai Golkar, Samsul Bahri Bin Amiren Tiyong meminta pemerintah pusat untuk menuntaskan isi perjanjian damai Aceh.

“Rakyat Aceh sudah bergabung dengan Republik Indonesia, dan Republik Indonesia juga harus menuntaskan isi perjanjian yang telah disepakati,” kata Tiyong, sapan akrab Samsul Bahri Bin Amiren Tiyong saat membuka kegiatan penguatan relawan Gerakan Kebajikan Pancasila yang dilaksanakan oleh Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), pada Selasa 23 September 2025 di Kampus Universitas Islam Aceh.

Bekas anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) itu menambahkan, bila Republik Indonesia tidak sepakat dengan isi perjanjian damai, maka pemerintah pusat harus membatalkannya.

“Sampai saat ini, pemerintah pusat masih mengakui adanya GAM di Aceh, dan tertuang didalam MoU Helsinki yang ditandatangani antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka,” sebut Tiyong.

Mantan anggota DPR Aceh itu menambahkan, perjanjian damai tersebut menandakan bahwa GAM sepakat berada dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sesuai dengan syarat yang telah dijanjikan oleh pemerintah pusat melalui undang-undang yang diatur khusus untuk pemerintah yang ada di Aceh.

“Namun, sampai sekarang belum ada realisasinya,” sebut Tiyong.

Tiyong menambahkan, makna Pancasila sebagai dasar negara yang dipahami oleh masyarakat Aceh dan daerah lain tentu memiiki kesamaan dan juga perbedaan, kerena terdapat sejarah khusus tentang Aceh sebelum bergabung dengan Indonesia.

“Aceh memiliki sejarah panjang dan akhirnya pada tahun 2005, terjadi satu perjanjian kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka,” sebut Tiyong.

Tiyong mengaku, hal itu harus disampaikan karena pesan dan titipan rakyat Aceh yang bermula dari sebuah bangsa yang kemudian dijadikan suku bangsa di Republik Indonesia.

“Kami setuju dan sepakat tentang Pancasila, namun bicara Pancasila, maka perlu kita tanyakan siapa sesungguhnya yang melanggar akan Pancasila itu sendiri,” kata Tiyong bertanya.

Kata Tiyong, pernyataan dirinya tentang perjanjian damai Aceh jangan sampai dianggap makar, karena dirinya bicara sesuatu yang telah disepakati.

“Kalau bicara makar, Republik ini juga makar terhadap bangsanya, Republik ini juga makar terhadap rakyatnya,” tutur Tiyong.

Tiyong menambahkan, dalam pengambilan keputusan kebijakan tentang Pancasila, maka harus dilihat pasal yang mengatur tentang kebijaksanaan yang adil dan beradab.

“Apa itu bijaksana, apa adil dan beradab, apa itu martabat, didalam MoU Helsinki tertulis dan tertuang penyelesaian Aceh secara permanen adil dan beradap serta bermartabat untuk kita semua,” tutur Tiyong.

Menurut Tiyong, apa yang telah dijanjikan pemerintah pusat untuk Aceh sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945, terutama Pasal 18 Ayat 5 tentang otonomi daerah, dimana daerah bisa mengatur diri sendiri seluasnya, kecuali sektor-sektor yang menjadi kewajiban negara.

“Kita juga mengakui Pasal 33 yang mengatur tentang bumi dan air serta isinya milik negara, tetapi didalamnya terdapat kewajiban negara untuk mempergunakan sebanyak-banyaknya demi kepentingan masyarakat, bukan kepentingan pejabat,” kata Tiyong.

Lantas, Toyong juga mempertanyakan, apakah Aceh sudah mendapatkan keadilan sesuai dengan sila kelima, keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.

“Republik ini belum adil terhadap Rakyat Aceh, maka di Aceh dari masa ke masa terus bergejolak, karena kesetaraan dan keadilan bekum ada di Aceh,” sebut Tiyong.

Disi lain, Tiyong mengaku bahwa tingkat toleransi ummat beragama di Aceh tergolong tinggi, dimana ummat Islam bisa hidup bergandengan dengan penganut agama lainnya.

“Namun, semua orang wajib menghormati dan menjunjung tinggi hukum Islam yang berlaku dan diterapkan di Aceh,” kata Tiyong mengingatkan.

Tiyong menambahkan, hal itu penting agar pada saat hukum Islam diterapkan di Aceh, maka tidak dianggap sebuah pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).

“Begitu juga dengan pelaksanaan hukum lain yang diterapkan di daerah lain di Indonesia untuk kenyamanan dan kebebasan bagi ummat beragama,” tutur Tiyong. [] (Rahmad Maulida)