LINTAS NASIONAL – BANDA ACEH, Pemerintah Pusat diminta tidak mengabaikan keberadaan MoU Helsinki yang ditandatangani oleh Pemerintah RI dan GAM pada tanggal 15 Agustus 2005 silam.
MoU Helsinki itulah yang kemudian menjadi pintu masuk dan kunci atas terwujudnya perdamaian di Aceh pasca konflik bersenjata dan kekerasan puluhan tahun lamanya.
Pernyataan itu disampaikan oleh Auzir Fahlevi SH, selaku Ketua LSM GeMPAR Aceh dalam rilis yang dikirimkan ke redaksi lintasnasional.com pada Kamis 9 Juli 2020.
Menurutnya, penandatanganan MoU Helsinki antara Pemerintah RI dan GAM tidaklah terjadi secara dadakan atau spontanitas.
“Ada sejumlah proses dan tahapan serta adu urat saraf juga antara para perunding RI dan GAM mengenai persoalan hak dan kewajiban yang harus di jalankan oleh kedua belah pihak.bila kemudian persoalan hak dan kewajiban ini diabaikan maka kami khawatir akan menjadi salah satu pemicu konflik baru di Aceh,” ujar Auzir.
Dari sejumlah kesepakatan dan komitmen MoU Helsinki itu,sampai saat ini ada beberapa persoalan krusial yang belum terealisasi.
“Diantaranya soal hak Aceh untuk memiliki bendera, kemudian soal lahan pertanian/perkebunan untuk korban konflik dan eks kombatan GAM serta penetapan suku bunga perbankan khusus untuk Aceh, disamping ada berbagai problem lainnya yang terkesan diabaikan oleh Pemerintah Pusat,” terang Alumni Fakultas Hukum Unsyiah itu.
Auzir melanjutkan bahwa persoalan bendera misalnya,itu bukan hanya soal simbolik semata tapi bendera itu erat kaitannya dengan persoalan marwah dan identitas aceh yang harus diwujudkan.
“Sungguh keliru jika Pemerintah terlalu alergi dengan adanya bendera untuk Aceh.padahal soal bendera dan lain-lain itu memang sudah tercantum dalam MoU Helsinki dan juga UUPA.jangankan bendera Bulan Bintang,bendera Alam Peudeung saja yang merupakan bendera kerajaan Aceh pada masa lampau juga tidak bisa digunakan, ini aneh dan patut dipertanyakan,” jelasnya.
Secara ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2007 tentang lambang daerah,penggunaan bendera Alam Peudeung sebenarnya tidak bertentangan dengan PP tersebut.
“Pasal 6 ayat 4 PP Nomor 77 Tahun 2007 sudah sangat lugas menyatakan bahwa lambang atau bendera dibolehkan sejauh tidak menyerupai baik sebagian maupun seluruhnya dengan organisasi terlarang dan separatis.katakanlah bendera bulan bintang itu tidak boleh,tapi bendera alam peudeung yang jelas-jelas tidak ada kaitannya dengan organisasi terlarang atau separatis, kok tidak diperbolehkan juga,” tanya Auzir.
GeMPAR Berharap kepada Pemerintah Pusat,dalam hal ini Presiden Joko Widodo hendaknya belajar pada sejarah dan pengalaman penanganan konflik Aceh pada rezim pemerintahan sebelumnya.kasus DI/TII dan Ikrar lamteh yang pernah menjadi catatan sejarah kelam antara Pemerintah Pusat dan Aceh tidak terulang kembali melalui MoU Helsinki ini.
Sudah lebih dari 15 tahun setelah ditandatangani, masih banyak butir-butir MoU Helsinki yang belum dilaksanakan.ini diakui atau tidak,akan menjadi ancaman bom waktu yang bisa meledak kapan saja dan dikooptasi oleh kepentingan pihak-pihak tertentu untuk mengacaukan Aceh lagi.
Berdasarkan catatan GeMPAR, Presiden Joko Widodo telah menunjuk Kepala Kantor
Staf Presiden (KSP) Jenderal Purn Moeldoko sebagai Ketua Tim Percepatan Implementasi MoU Helsinki pada 13 Februari 2020 usai bertemu tim dari Aceh yang dipimpin Wali Nanggroe Aceh Tengku Malik Mahmud Al-Haythar.
Saat itu Presiden Jokowi menugaskan Moeldoko agar dalam tiga bulan ke depan mampu menyelesaikan persoalan MoU Helsinki, ironisnya sampai saat ini belum ada aksi dan reaksi dari kerja Moeldoko untuk menindaklanjuti perintah Presiden Jokowi.
Karena itu,GeMPAR berharap agar Anggota DPR/DPD RI asal Aceh mendesak Presiden Jokowi untuk mempercepat realisasi MoU Helsinki dan UUPA.
“Persoalan MoU Helsinki dan UUPA jangan dianggap hanya sebagai urusan internal antara RI dan Petinggi GAM semata tapi ini menyangkut kepentingan Rakyat Aceh secara komprehensif, yang paling penting adalah soal bagaimana merawat perdamaian ini terus berjalan secara permanen melalui pemenuhan hak ekonomi, sosial dan politik terhadap Aceh berdasarkan MoU Helsinki dan UUPA,” pungkas Auzir Fahlevi. (Red)