Ismail Aiyub (65) tahun, merupakan seorang pembuat logo kabupaten Bireuen yang lahir di Gampong Dayah Baroe, Jeunieb, Kabupaten Bireuen, 1 Februari 1955 . Di jiwa lelaki itu mengalir darah seni yang begitu kuat.
Suara parau terdengar dari ucapan Ismail Aiyub (65) ketika ia memberikan salam kepada Lintasnasional.com di seberang Gawai. Lembut sapaannya begitu hangat di minggu siang, 10 Oktober 2021 itu. Meski sudah berusia senja dan hampir memasuki sepertiga abad, namun ingatan lelaki itu masih amat kuat, bahkan pengamatannya pun masih begitu tajam.
Disamping itu, gaya bicaranya yang masih jelas, lugas, serta tertata dengan baik tatkala menjawab ragam pertanyaan dari lintasnasional.com
Sejak masih kanak-kanak, Ismail kecil sudah mulai berkiprah di dunia seni rupa, khususnya melukis. Kebiasaan orang Aceh dulu, kisah Ismail mengenang masa kecilnya, sering mengadakan lomba-lomba menggambar dan melukis, serta perlombaan seni lainnya.
Ismail membuka perbincangan dengan mengenang masa kecilnya di Gampong Dayah Baroe. Disana awal mulanya ia tinggal bersama orangtuanya. Sementara di rumahnya, ibunya yang menjadi guru pertamanya.
Bagi Ismail, seni rupa bukanlah sekadar hobi. Melukis telah menjadi dunianya dari sejak kecil. Sebab, melalui seni rupa ia dapat mengungkapkan rasa beragama, etika, heroik, kritik, dan kebersamaan serta semangat pembangunan bangsanya. Melalui seni rupa, guru Sekolah Dasar itu mengungkapkan rasa cintanya pada budaya tanah air serta arah masa depan generasi hari ini.
Ia mengisahkan kebiasaan masa kecil di kampung halamannya. Di kampungnya bahkan di Aceh pada umumnya waktu itu ada kebiasaan anak laki-laki tidur di Meunasah. Hal ini yang menurutnya mulai dikikis zaman.
Semasa duduk di bangku sekolah dasar (SD), Ismail mulai giat belajar seni rupa, hingga sampai di bangku sekolah menengah pertama (SMP) ia makin aktif mengguluti dunia seni tersebut.
Selesai menamatkan pendidikan SMP, Ismail lanjut ke jenjang Sekolah Pendidikan Guru (SPG), sederajat SMA, kini. Setelah duduk dibangku SPG (yang kala itu bertempat di sebelah utara Masjid Jamik Bireuen, kantor Baitul Mal sekarang), berbagai perlombaan terus ia ikuti. Di usia itu, Ismail mulai aktif dengan melukis. Keahliannya sebagai pelaku seni rupa semakin matang.
Sepintas Kisah Kanak-kanak Ismail
Ismail kecil mulai menempuh pendidikan SD Jeunieb pada tahun 1963. Selepas menamatkan SD pada 1970, ia melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) Samalanga viliar Jeunieb.
Sejak SMP, Ismail mulai mengembangkan hobi seni rupa, masa itu ia sudah begitu aktif belajar melukis di samping juga menyisihkan waktu luangnya untuk belajar mata pencaharian lain.
Di usia produktif itu, lelaki yang kini memiliki lima orang anak tersebut memanfaatkan waktunya untuk belajar melukis, di samping juga ikut membantu pekerjaan orang-tuanya di sawah.
Sementara itu, kata Ismail, sejak SMP ia sudah mengguluti hobi melukis. Sebab dari kebiasaan itulah banyak anak-anak Bireuen tempo dulu gemar dan aktif dalam berkesenian di bidang melukis, baik berupa kaligrafi dan seni rupa.
Usai menyelesaikan pendidikan SMP pada 1973, Ismail melanjutkan pendidikan ke sekolah pendidikan guru ke Bireuen, jarak tempuh Jeunieb ke kota Bireuen sekira 20 KM. Dari tekad dan semangat itulah, cita-cita Ismail menjadi seorang guru kesenian terkabulkan.
Semasa menempuh pendidikan di SPG Bireuen, Ismail juga sudah menempa diri menjadi seorang pemuda yang mandiri. Ia mengisi waktu kosongnya untuk menjadi pekerja mebel (alat perabotan rumah tangga) di tempat orang.
Namun, padatnya jam sekolah, ditambah dengan menjadi pekerja mebel tak mengganggu Ismail dalam mengembangkan hobi seni rupa yang amat dicintainya. Ia tetap menyisihkan waktu untuk melukis.
Menurut Ismail, sesibuk apapun pekerja dan tuntutan keadaan, ia juga harus memprioritaskan hobi di atas segalanya. Sebab, bagaimanapun alur perjalanan hidup ini, hobi tetap akan menyemai kemana kaki melangkah, pun bisa saja berubah menjadi cita-cita untuk tujuan yang hendak dicapai oleh semua orang.
Belajar Seni Rupa
Semasa masih tercatat sebagai siswa SPG Bireuen, Ismail aktif dan giat belajar seni rupa dari seorang gurunya dari Juli. Ia mengaku, gurunya tersebut bernama Husen Daud.
Awalnya, Ismail melukis secara otodidak, kemudian ia belajar dengan telaten kepada Husen Daud. Namun, lelaki produktif tersebut tak ingin melewatkan kesempatan yang ada, secuil detik pun.
Di usia muda, Ismail tak ingin menyia-nyiakan waktu mudanya untuk hal-hal yang tidak bermanfaat, ia memilih untuk belajar seni rupa dan bekerja sebagai buruh di usaha perabotan rumah tangga milik orang lain.
Ia belajar seni rupa kepada Husen Daud selama dua tahun, kala ada sayembara ataupun perlombaan seni rupa, dirinya sering sekali ikut andil dan mengikuti setiap lomba melukis, baik tingkat Kabupaten maupun Provinsi.
Berkat keberanian mengikuti berbagai perlombaan seni rupa, Ismail pernah beberapa kali membawa pulang juara. Ia pernah menjadi peringkat satu pada lomba melukis Hardiknas tingkat Provinsi pada tahun 1976.
Bahkan, pada tahun 1976 ia juga membawa pulang juara II pada lomba melukis tingkat Provinsi yang diperuntukan bagi peserta umum (bebas).
Menjadi Pegawai Negeri Sipil
Tahun 1976, usai menyelesaikan pendidikan sekolah menengah atas, Ismail langsung diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (ASN) pada 1977. Saat itulah, cita-cita luhurnya menjadi seorang guru di Bireuen terkabulkan.
Pertama menjadi guru, ia ditempatkan mengajar di SD Pandrah selama lebih kurang lima tahun. Selanjutnya Ismail dipindah-tugaskan ke SD Ujong Raja, Blang Panyang, Simpang Mamplam pada tahun 1992, di sana ia mengabdi selama lebih kurang lima tahun.
Kemudian, Ismail muda dipindah-tugaskan ke SD Panton Bilie dan mengabdi lebih kurang selama lima tahun. Beranjak dari sana, ia dipindah-tugaskan lagi ke SDN 6 Pandrah pada tahun 2004. Di SDN 6 Pandrah, Ismail menjabat sebagai kepala sekolah selama tiga tahun, dari 2004 sampai 2006.
Terhitung puluhan tahun malang-melintang di dunia pengabdian menjadi seorang guru di wilayah barat Kabupaten Bireuen, akhirnya Ismail ditunjuk sebagai Penilik Luar Sekolah (PLS), pada tahun 2007 sampai 2009.
Setelah menjadi PLS di bawah Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Bireuen, Ismail kembali ditunjuk menjadi Pengawas Sekolah di Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Jeunieb sampai tahun 2015.
Memasuki tahun 2015, merupakan tahun berakhirnya pengabdian Ismail. Ia pensiun pada 1 Maret 2015.
Pendiri Sanggar Cempala Kuneng
Namun, bagi lelaki yang kini tinggal di rumah sederhana itu pendidikan dan kesenian merupakan prioritas utama yang wajib dilestarikan serta dikembangkan dari zaman ke zaman. Pasalnya, pendidikan seni merupakan sendi kehidupan.
Pada tahun 2022 Ismail mendirikan Sanggar Kesenian Daerah Aceh yang diberi nama “Cempala Kuneng”. Awal mulanya sanggar tersebut didirikan di Gampong Lhok Dagang, Pandrah.
Sanggar tersebut mewadahi Rabbani Wahed dan Rapa-i. Awalnya ia mengajarkan Rapa-i Pulot dan Rapa-i Leupek dengan cara mencari pengajar dan syeh Rapa-i yang bisa mengajarkan anak-anak. Ia mengaku, sampai kini sanggar tersebut masih aktif.
Di wilayah barat Kabupaten Bireuen, sanggar Cempala Kuneng amat dikenal oleh masyarakat. Sanggar tersebut dapat dikatakan sebagai sebuah wadah seni yang masih aktif dan memiliki legalitas di daerah tersebut.
Tak hanya itu, Ismail dulu juga pernah bergabung di Dewan Kesenian Aceh (DKA) Kabupaten Bireuen. Ia ditunjuk sebagai pembina seni di Kecamatan Peudada, Jeunieb, dan Samalanga.
Tokoh yang Hilang di Kota Juang
Tentu tak banyak yang kenal dengan lelaki senja ini. Ia Ismail Aiyub (65) tahun, merupakan orang pertama yang membuat Logo Kabupaten Bireuen pada Tahun 2000 silam.
“Yang hilang di kota ini, (kota Juang) adalah etika, tata-krama dan adab dalam menghargai jasa orang lain, bahkan jerih payah pendahulu, serta karya-karya intelektual para pelaku seni,” demikianlah kata Ismail.
Kepada Lintasnasional.com Ismail mengaku, bahwa kini dirinya adalah orang yang terlupakan dalam catatan sejarah berdirinya Kabupaten Bireuen. Namun, perkataannya tersebut bukanlah gambaran bahwa ia kecewa tentang apa yang telah disumbangkannya untuk Kabupaten tercinta ini.
“Saya hanya seorang yang hilang dalam sejarah perjalanan kabupaten Bireuen, pun tak pernah dianggap ada,” ucap Ismail di seberang telepon dengan terbata-bata.
Kisahnya bermula ketika awal pertama berdirinya Kabupaten Bireuen. Pada tahun 2000, yang kala itu dipimpin oleh Drs. Hamdani Raden sebagai tampuk pimpinan pertama Kabupaten tersebut, Ismail merupakan sosok yang memiliki jasa dan andil besar. Akan tetapi, nasibnya kini serupa kacang yang kehilangan kulitnya.
Ismail kembali mengisahkan tentang awal mulanya ia mengikuti sayembara penciptaan logo Kabupaten Bireuen tersebut kepada Lintasnasional.com
“Saat itu diadakan sayembara pembuatan Logo oleh Pemkab dengan membentuk Tim panitia dan siapa saja bisa mengikutinya,” kata Ismail lugas.
Ia menjelaskan, pada saat itu ada 23 peserta yang mengikuti sayembara, salah satunya adalah dirinya yang waktu itu masih berstatus PNS di bawah dinas Pendidikan dan Kebudayaan Bireuen.
Meskipun tidak diumumkan seberapa besar hadiah bagi pemenang lomba, kata Ismail, namun ia tidak memikirkan hal itu, karena sejak awal ia tertarik mengikuti sayembara tersebut, karena dari kecil Ismail mempunyai bakat melukis dan seni rupa.
Namun, setelah pemenang lomba sayembara diumumkan, Ismail didapuk sebagai pemenang. Karyanya terpilih untuk dijadikan logo Kabupaten Bireuen.
Singkat cerita, kata Ismail, dalam proses itu ia mendengar sendiri perbincangan tim panitia dan para dewan juri yang mengusulkan hadiah pembinaan sebesar Rp.50.000.000 juta kepada para petinggi Bireuen, untuk juara pertama, Rp.35.000.000 juta kepada juara kedua, dan seterusnya.
“Tetapi, apa hendak dikata. Tahu-tahunya saya hanya mendapatkan uang pembinaan sebesar Rp.750.000,” katanya.
Dalam hal itu, sebut Ismail, bisa saja atau barangkali para petinggi Bireuen saat itu tidak paham akan nilai seni, atau-pula mereka tidak mengerti akan berharganya sebuah karya intelektual yang dibuatkan oleh para seniman.
Kemudian sambung Ismail, selain menerima hadiah sebesar Rp.750.000, ia juga menerima selembar piagam penghargaan yang ditandatangani oleh Bupati Bireuen Drs. Hamdani Raden pada 26 Mei 2000 serta sebuah Trophy yang bertuliskan Juara satu Bentuk Lambang Daerah Kabupaten Bireuen.
Namun setelah logonya dipakai dan disahkan sebagai logo Kabupaten Bireuen, oleh DPR Bireuen saat itu, Ismail seperti dilupakan, banyak janji manis yang diucapkan oleh Pemerintah Bireuen terhadapnya kala itu.
Kini, kondisi ahli seni rupa itu dalam keadaan kurang sehat, dan mulai sakit-sakitan, ditambah faktor usia yang semakin menua. Meskipun kondisinya sekarang tak sebugar dulu lagi, tapi ingatannya masih sangat kuat, apalagi terkait romantika dan nostalgia awal berdirinya Kabupaten Bireuen.
Dengan penuh semangat, Ismail menceritakan sejarah sayembara cipta logo Bireuen yang masih dipakai hingga saat ini kepada Lintasnasional.com secara gamblang dan lugas.
Hasrat Melanjutkan Kuliah di Yogyakarta
“Hasrat hati ingin memeluk gunung apadaya tangan tak sampai” barangkali peribahasa itulah yang pantas menggambarkan lara dilema yang dirasakan Ismail saat keinginannya tak sampai untuk melanjutkan kuliah di kota pendidikan Yogyakarta.
Remuk redam hati Ismail kala itu seakan tiada penawarnya. Hajat sucinya menjadi seorang sarjana seni pupus di ranting janji Pemerintah Bireuen. Andai-pun demikian, ia tetap teguh tabah pada takdir yang dihadapinya.
“Ini telah menjadi takdir hidup saya,” ucap Ismail.
Semasih menjadi pengajar di salah satu SD di Kecamatan Pandrah, Ismail tak terlalu memikirkan dan mengharapkan serangkaian janji yang pernah diucapkan Pemerintah Bireuen kepadanya, ia hanya berpasrah diri pada keadaan dan nasib yang sedang dihadapinya.
Saat itu, Ismail hanya memiliki satu hasrat dan permintaan kepada Pemerintah Bireuen, yakni hajat untuk bisa melanjutkan pendidikan ke Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta supaya bisa mengambangkan bakat dan karirnya di bidang seni rupa, juga bisa menurunkan pengetahuannya kepada generasi berikutnya di Kabupaten Bireuen.
Perjuangan suci Ismail terbilang pilu dan berliku, masa itu ia bolak-balik ke Pusat kota Bireuen untuk memohon ke Pemerintah setempat supaya proposalnya diterima agar bisa melanjutkan pendidikan ke Yogyakarta karena di Aceh pada saat itu belum ada Jurusan Seni.
Selanjutnya, Ismail menjumpai Kepala Bagian Kepegawaian Kabupaten Bireuen yang saat itu dijabat oleh Muzakkar A. Gani yang saat ini menjabat sebagai Bupati Bireuen, namun keinginannya ditolak mentah-mentah oleh Muzakkar.
“Alasannya tidak ada Anggaran, saya pun pulang dengan penuh kekecewaan karena keinginan untuk melanjutkan pendidikan ke Yogyakarta sangat tinggi,” imbuh Ismail.
“Bak api di tungku peradaban” kalimat itu barangkali dapat mewakili kekecewaan dan remuk lunglai hati Ismail. Meskipun permohonannya ditolak oleh Pemerintah Bireuen, Ismail tidak pernah patah semangat, ia tetap mengajar anak-anak seperti biasa di sekolahnya.
Berselang setahun kemudian, berkat ide dan dorongan dari teman-temannya ia mengusulkan sekali lagi proposal untuk mengungkapkan keinginannya melanjutkan pendidikan ke Yogyakarta, namun lagi-lagi tidak diterima, kali ini dengan alasan yang berbeda.
“Selain tidak ada anggaran, Pemkab juga mengatakan, kalau nanti saya selesai kuliah mau ditempatkan di mana? sedangkan Kampus yang ada di Bireuen tidak ada Jurusan Seni,” ucap Ismail menjelaskan perkataan pihak Pemerintah Bireuen.
Menurut Ismail, jawaban Pemkab Bireuen serupa belati yang menikam jantungnya, pun teramat menyakitkan baginya, karena keinginannya melanjutkan pendidikan bukan untuk menjadi dosen, melainkan untuk mengembangkan bakatnya semata.
“Hal itu pula yang yang menurut saya tidak dipahami oleh pihak Pemkab kala itu,” sebut Ismail.
Sejauh ini, Ismail merasa bahwa dirinya dikhianati oleh beberapa petinggi Bireuen kala itu, “mungkin saat itu mereka lebih memikirkan sanak saudaranya lebih dulu untuk di sekolahkan ke luar daerah,” katanya.
Ismail menyebutkan, dalam sejarah berdirinya Kabupaten Bireuen, hanya sedikit sejarah yang dirawat dengan baik, yang tradisi serta budaya nepotisme para elit yang sampai dengan hari ini masih berjalan lurus dan lancar serupa air sungai mengalir.
Yang lebih mirisnya lagi, kenang Ismail, saat mendengar perkataan Kabag Kepegawaian, “tak ada anggaran untuk guru SD, yang ada anggaran persiapan untuk pekerja di kantor Bupati, empat orang yang akan dikirim ke Universitas Gajah Mada (UGM),” ujar Ismail mengulang perkataan pihak Pemkab kala itu.
Dalam hal itu, Ismail merasa ada oknum petinggi Bireuen saat itu yang bersikap seperti “Mi Agam”. Artinya takut tersaingi atau merasa tersaingi bila ada orang Bireuen lain yang sekolah tinggi-tinggi.
“Mungkin mereka takut jika suatu nanti orang lain yang mengisi jabatan di Bireuen, bukan keluarga mereka,” celutuknya.
Dengan penuh pertimbangan, akhirnya Ismail memutuskan untuk tidak berharap apapun lagi dari Pemerintah. Ia hanya menggeluti profesinya dengan mengajar anak-anak, pula ia berharap Logo dan makna yang terkandung didalamnya dapat diartikan dengan baik oleh Pemerintah Bireuen sampai hari ini.
DPRD Bireuen Tinjau Hadiah Pembinaan Sayembara
Awal mula berdirinya Lembaga Dewan Perwakilan Daerah Kabupaten (DPRD) Bireuen, pihak legislatif meminta bupati Bireuen, yang ketika itu sudah dijabat oleh Mustafa A. Geulanggang untuk meninjau kembali hadiah pembinaan untuk pemenang sayembara pembuat logo Kabupaten.
Ismail mengatakan, DPRD mengusulkan tiket naik haji untuk masing-masing pemenang dua tiket. Artinya satu pemenang diberikan 2 tiket untuk ke tanah suci bersama istri tercinta.
Ismail menyebutkan, bahwa legislatif Bireuen mengusulkan, “Jangan segitu hadiah pembinaan untuk pemenang sayembara logo,” kata DPR Bireuen kepada Bupati kala itu.
DPR Bireuen kala itu, sebut Ismail juga meminta pihak Pemkab untuk meninjau kembali hal itu, “sekurang-kurangnya DPR mengusulkan Pemkab untuk memberikan tiket haji kepada pemenang sayembara logo Kabupaten Bireuen,” ungkapnya.
Hal itu, sebut Ismail telah diusulkan oleh DPR Bireuen, namun ia tak tahu lagi entah dimana janji dan usulan tersebut mengambang dan terkurung.
“Entah bupati yang menolak, entah semasa DPR tidak setuju. Intinya, sampai dengan sekarang janji-janji tersebut tidak berwujud dan ditepati,” pungkasnya.
Dengan rentetan janji manis para elit Bireuen saat itu, Ismail memilih untuk bersikap apatis, serta menyerahkan semuanya kepada Allah SWT. Ia memilih menjalani kehidupan sehari-harinya seperti sedia-kala, dan percaya bahwa semua itu adalah takdir dari yang Maha Kuasa.
Tetapi, sampai dengan hari ini, ia masih merasa dikhianati atas serangkai janji manis pemerintah Kabupaten Bireuen. Ismail menilai sikap oknum pendiri Bireuen kala itu lebih mementingkan pendidikan untuk sanak famili mereka semata.
“Jeut han jeut keputusan jih bak lon ngon Setda,” ucap Ismail mengulang perkataan Kabag Kepegawaian Bireuen saat itu.
Janji Manis yang tak Pernah Hilang
“Janji bek keu mameh lidah, sumpah bek keu mangat haba”. Demikianlah bunyi petuah Aceh lama. Barangkali peribahasa itu dapat menjawab semua sumpah janji Pemerintah Bireuen dahulu kepada Ismail, yang sampai puluhan tahun belum ditepati.
Ismail kini tinggal bersama 5 anaknya dan sudah tidak sanggup bekerja lagi, ia hanya mengandalkan gaji pensiunan untuk membesarkan dan menafkahi anak-anaknya sehari-hari.
Selang beberapa tahun usai permohonannya untuk melanjutkan pendidikan ke pulau Jawa tidak dikabulkan oleh pemerintah Bireuen kala itu, Ismail mencoba membawakan proposal permohonan untuk kedua kalinya. Namun, lagi-lagi niatnya tak kesampaian.
“Saat itu sekretaris daerah dan kabag kepegawaian memiliki keinginan yang sama. Mereka tak ingin saya kuliah di Yogyakarta,” papar Ismail.
Sampai kini, janji pemerintah Bireuen terhadapnya tak kunjung ditepati. Hal itulah yang membuat asa Ismail remuk redam, dan niat sucinya untuk melanjutkan pendidikan ke ranah rantau pupus di tengah jalan.
“Sampai hari ini janji naik haji bersama Almarhumah istri saya dan biaya pembinaan 50 Juta dari Pemkab tidak pernah dipenuhi,” bebernya.
Akan tetapi, Ismail tidak pernah mengeluh akan janji manis pemerintah Bireuen tersebut. Baginya, semua itu telah menjadi takdir dan nasib untuk hidupnya sampai dengan kini.
“Hingga istri saya meninggal pada 2015, apa yang pernah dijanjikan pemerintah Bireuen tidak pernah dipenuhi,” ucap Ismail lirih.
Di lain sisi, ada yang sungguh menyakitkan lagi bagi lelaki senja tersebut, ia tidak pernah diundang pada setiap perayaan hari ulang tahun Kabupaten Bireuen. Ihwal itu-pula yang membuat Ismail benar-benar merasa dilupakan dalam sejarah berdirinya kabupaten berjuluk Kota Juang itu.
“Saya benar-benar dilupakan, selama Kabupaten Bireuen berdiri dan setiap tahun dirayakan hanya sekali diundang, saat itu bupati Bireuen dijabat oleh Mustafa Geulanggang, itupun hanya menyaksikan penyerahan penghargaan bagi para pendiri Kabupaten Bireuen,” kenangnya.
Namun setelah itu, lanjut Ismail, dirinya tidak pernah lagi diundang setiap ada acara ulang tahun kabupaten Bireuen, “mungkin mereka tidak mau tahu siapa yang menciptakan logo, karena kan hanya logo mungkin tidak penting siapa penciptanya yang penting kan logonya,” selorohnya. [ ]
Penulis: Adam Zainal
Konten Ini diproduksi oleh Lintas Nasional