Oleh: M. Dewantara
Nagai Nagayoshi pada Tahun 1971 menemukan sabu- sabu denga zat aditive metamfetamina yang bermamfaat dalam dunia kesehatan dan sering digunakan oleh serdadu dalam perang dunia ke II sebagai peningkat stamina dan kepercayaan diri.
Tak disangka, kini sabu di era melenial malah merambah indonesia sejak tahun 90 akhir dan boming di Abad 21 dalam perspektif penyalahgunaan.
Dari sisi medis, hukum dan efek samping serta efek sosial sudah banyak literatur yang mengupasnya. Namun dari aspek ekonomi dan bisnis sangat minim literatur yang mengupasnya hingga tuntas.
Ratusan ton dan mungkin Ribuan ton narkotika jenis Sabu ini terjual laris di pasar Indonesia, terlepas itu di produksi di dalam negeri ataupun di Impor dari negara produsen denga jaringan internasional menghunakan jalir laut dan darat.
Menurut asumsi penulis tidak kurang dari 10 ton setiap tahun menjadi kebutuhan pasar Indonesia dg perkiraan harga pasar berkisar antara 800 jt – Rp. 1 Miliar, jika dikalkulasikan mencapai angka 8 Triliun sampai dengan 10 Triliun uang yg beredar dari jenis narkotika ini, sangat Fantastis.
Kini Narkotika jenis Sabu sudah merambah dan mengkontaminasi seluruh kalangan, bahkan sudah masuk ke Pemerintahan, Pendidikan, Ibu-ibu, anak-anak, remaja bahkan kalangan Pesantren, karena para mafia Sabu memanfaatkan semua lini agar mudah dalam memasok barang haram tersebut.
Sejak beberapa tahun terkahir Aceh menjadi pusat transit Sabu terbesar di Asia bahkan didunia karena memiliki letak laut yang sangat stretegis yakni selat Malaka, pengirimin dari sejumlah negara, Cina, Thailand dan Malaysia sangat mudah memasuki parairan Aceh.
Adanya kebutuhan pasar yang sangat besar dan menggiurkan sehingga membuat banyak pihak untuk meraup rezeki dari bisnis ini dan sangat menjanjijan jika ditinjau dari prinsip ekonomi; terlepas halal haram dan resiko hukum, Bagi pelaku bisnis, keuntunganlah yang jadi target utama dimana modal dan keuntungan adalah penjumlahan selisih. Apalagi modal yang dibutuhkan untuk menjalankan bisnis ini cuma keberanian dan modal nekat serta sedikit ilmu kelicikan.
Di Indonesia, kenapa bisa tercipta market yg begitu besar dan siapa yang sangat berperan menciptakan market tersebut. Kebetulankah (alamiah) atau memang terencanakan secara terstruktur, masif dan punya target progres yang ingin dicapai? Diduga ada permainan tingkat elit yang membekingi pemasok Sabu di Aceh, Ini masih butuh penelitian dan kajian yang lebih dalam.
Jika tidak berlebihan mari kita coba berasumsi kwantitas dan jumlah harga yg begitu besar thp semua permasalahan dan kemungkinan penyebabnya;
a. Bukankah perang secara ekonomi dg menyedot devisa yang sangat besar.
b. Perang Hankam, dengan bom kimia yang tidak membutuhkan peluncur, misil dan bahan peledak untuk menghancurkan sasaran.
c. Sosial agama,dengan sendirinya orang yg kecanduan akan jauh dari nilai nilai moral dan agama yang menjadikan kebanggaan dan kekutan Bangsa.
c. Kecerdasan dan pendikan juga kekuatsn suatu bangsa,bukankah ini target pesaing regional dan international.
d. Anggaran negara yg tersedot untuk penanggulangan stunami sabu-sabu untuk penegak hukum,rehabilitasi dan antipasi.
e. Hilanngya kepercayaan publik kepada penegak hukum,dikarenakan adanya segelintir oknum yg ikut terlibat langsung ataupun tidak langsung. Baik ikut menjalankan bisnis,menjadi deking dan jual beli pasal sehingga timbul sikap apatis dari masyarakat.
f. Indonesia diserang,terserang dan kronis.
Dan inilah yg terbaca bagi segeluntir putra- putri Aceh untuk bergelut dalam bisinis ini. Karena semua peluang dan resiko sudah sangat di pahami. Dan mereka punya modal berani dan nekat mengingat mereka sudah terbiasa hidup di daerah konflik yang berkepanjangan. Ditambah dg bencana sunami dan meluluhlantakkan Aceh.
Apalagi sampai saat ini Aceh terus terpuruk dalam kemiskinan, sempitnya lapangan kerja, minimnya perhatian pemerintah daerah dan pusat.
Hal ini bisa dilihat dari; pertambangan besar dibiarkan mengeruk hasil alam Aceh tapi pertambangan rakyat terus dibenam sampai hal-hal yang kecil dengan alasan hukum tanpa proses pembinaan.
Dana Desa yang diharapkan dapat menjadi pemantik geliat ekonomi di desa malah di hambur – hamburkan dg alasan bimtek dan abra kadabra lainnya.
Anggaran Otsus yang begitu besar juga di nikmati oleh oknum yang rakus dengan berbagai modus dan cara, Semua itu berjalan mulus-mulus saja tanpa ada yg peduli. Seakan pemuda pemudi Aceh cukup jadi imigran gelap dan mafia narkoba.
Jika semua tanpa solusi maka saya yakin Indonesia akan membayar dengan harga mahal terhadap kelalaiannya, Karena sebagian putra-putri sudah menjadi agen asing menghancurkan Indonesia yang kedahsyatannya melebihi dari senjata kimia.
Ketahuilah penjara dan peluru tidak akan membuat mereka ciut apalagi mereka sangat faham kalau ayam masih mau makan jagung, buktinya dengan banyaknya penangkapan dan diterapkan hukuman mati bagi bandar Narkoba, namun semakin hari semakin meningkat Sabu yang masuk ke Indonesia.
Harus Segera Dicari Solusi
Semua panyakit pasti ada obatnya dan semua permasalahan ada jalan keluarnya. Hanya tergantung kita mau atau tidak keluar dari carut marut penyakit sosial tersebut.
Pemberantasan Narkoba dan memutuskan jalur perdagangan Sabu tidak hanya menjadi tugas Negara. BNN, TNI/Polri, Civil Society, Ulama dan Masyarakat harus bersinergi dan berperan aktif dalam memutus mata rantai jalur masuk Narkoba ke Indonesia khususnya Aceh.
Disini penulis menawarkan beberapa solusi dan kebijakan yang dapat menjadi referensi bersama oleh setiap stakholder Aceh dan Indonesia pada umumnya.
1. Membuka lapangan kerja yang seluas-luasnya untuk putra putri Aceh.
2. Peluang usaha baik yang bersifat padat karya maupun ekploitasi sumber daya alam dengan pembinaan dan permodalan yang kuat.
3.Perbanyak program yang bermamfaat untuk pelatihan, permodalan dan manajemen dari Anggaran Pemerintah Aceh, APBK dan Dana Desa.
3. Libatkan Ulama, tokoh masyarakat, Civil Society dalam pengambilan tindakan.
4. Tindak tegas aparat penegak hukum yang bermai main dengan hukum baik itu yang membekingi korupsi dan Narkoba.
5. Berdayakan masyarakat Aceh dan pengusaha Aceh yang terlibat dalam pelaksana kontruksi dan proyek lainnya dan hilangkan kutipan haram dalam proses tender dengan angka pungli 10 % – 23 %, disinyalir juga terlibat oknum pejabat dari semua warna dan logo.
6. Belanjakan sebagian besar Anggaran Aceh dengan produk lokal putra putri Aceh yang kualitasnya sangat bersaing.
7. Pembinaan di Lapas sesuai dengan kemampuan dan keterampilan Napi dengan merubah sudut pandang peluang bisnis.
8. Libatkan ulama dan umara untuk membuat pendekatan kepada pelaku bisnis haram ini supaya bertaubat. Karena ancaman hukuman dan tembok penjara sudah terbukti tidak menjamin mereka untuk menghentikan bisnisnya.
9. Pemerintahan Desa harus berperan aktif untuk melakukan sosialisasi dan memberikan edukasi kepada masyarakat.
Penulis Merupakan Masyarakat Bireuen dan pengamat Kebijakan Publik.