LINTAS NASIONAL – BIREUEN, Sejak diresmikan pada tahun 2022 lalu Balai Rehabilitasi Napza Adhiyaksa RSUD Fauziah Bireuen tidak berfungsi dengan baik, padahal setahun terakhir hampir puluhan pengguna narkoba jenis Sabu ditangkap oleh pihak kepolisian.
Laporan akhir tahun 2024 pihak Polres Bireuen berhasil menangkap 93 tersangka kasus Narkotika, sebagian besar diantaranya merupakan pengguna, hanya sebagian kecil yang merupakan Bandar atau pengedar.
Puluhan pengguna Narkoba tersebut sedang menjalani Hukuman di Lapas Kelas II B Bireuen sesuai Vonis Pengadilan, meskipun sesama pengguna namun hukuman yang yang harus dijalani sangat berbeda-beda.
Hingga saat ini, Kejaksaan Negeri baru menempatkan satu korban penyalahgunaan Narkoba pada Bulan Juli 2024 lalu, hal itu berdasarkan Tim Assessment Terpadu (TAT) yang tergabung dari BNNK, Kejaksaan, Polres dan Tim medis
TAT menyatakan B tidak berperan sebagai pengedar, bandar, kurir ataupun produsen narkotika, dan bukan merupakan Residivis sehingga bisa menjalani Rehabilitasi di Balai Rehabilitasi Adhiyaksa selama 6 bulan.
Sejumlah narapidana yang merupakan pengguna Narkoba jenis Sabu yang mendekam di Lapas Kelas II B Bireuen yang sempat diwawancarai media ini pada Senin 7 April 2025 sangat menyesalkan putusan Vonis yang dihadapi, mereka juga pengguna narkoba yang seharusnya menjalani rehabilitasi seperti yang diamanatkan Undang-undang.
“Saya merupakan pengguna, bahkan saat ditangkap baru 2 kali memakai barang haram tersebut, namun pasal 127 (Pasal untuk pengguna, red) tidak berlaku untuk orang miskin, kami dimintai sejumlah uang agar bisa dikenai pasal 127,” ujar salah satu Napi yang minta namanya dirahasiakan
Bahkan katanya, para tersangka bukan hanya dimintai uang untuk bisa menggantikan Pasal, saat menghadapi persidangan juga harus mengeluarkan sejumlah uang agar dituntut dan mendapat Vonis ringan.
“Kalau mau pasal 127, Harus mengeluarkan uang mencapai puluhan Juta, begitu juga saat persidangan, ada pihak-pihak yang mengaku bisa melobi untuk meringankan tuntutan dan vonis dengan syarat menyerahkan sejumlah uang,” lanjutnya
Salah satu Napi yang terjerat kasus yang juga mengungkapkan hal senada, ia mengungkapkan kekecewaannya, karena mendengar para pengguna Narkoba akan menjalani Rehabilitasi.
“Saya pikir bisa menjalani Rehab, rupanya harus melalui lobi berlapis-lapis dan mengeluarkan uang hingga puluhan juta, Abang tanya sesama Napi yang yang terjerat kasus yang sama, pasti ceritanya juga seperti itu,” ungkapnya sambil menunjuk Napi lainnya yang senasib dengannya
Sejumlah Napi di Lapas Kelas II B Bireuen berharap penegak hukum bisa konsisten dengan aturan yang dibuat, jika bisa direhab kenapa harus mengeluarkan sejumlah uang.
“Rehabilitasi itu hanya berlaku bagi anak orang kaya yang terjerat Narkoba, kalau orang miskin harus menjalani Penjara hingga bertahun-tahun, sudahlah bang jangan banyak tanya lagi yang ada sakit hati,” ucapnya lirih sambil berlalu meninggalkan wartawan media ini saat melakukan wawancara
Kepala Seksi Intelijen Kejari Bireuen Wendy Yuhfrizal SH yang dikonfirmasi media ini pada Selasa 8 April 2025 mengatakan sejak diresmikan baru satu orang yang menjalani Rehabilitasi di balai Rehabilitasi Adhiyaksa.
“Persyaratan untuk rehab, minimal telah dilakukan Assesment oleh tim TAT yang merupakan gabungan dari instansi Kejaksaan, Kepolisian dan BNNK dan telah disetujui RJ Perkara Narkotika oleh Kejaksaan Agung, terkait biaya setiap bulan ditanggung sendiri oleh pasien dan diserahkan langsung ke petugas di balai Rehab,” ungkap Wendy
Kata Wendy, pengguna Narkoba bisa menjalani Rehabilitasi setelah ada rekomendasi dari Tim TAT.
“Untuk masyarakat bisa di rehab setelah ada rekomendasi dari tim TAT untuk dilakukan Rehab Media dan Sosial,” pungkas Wendy Yuhfrizal
Seperti diketahui Restoratif Justice untuk pengguna Narkoba diatur dalam pedoman Jaksa Agung Nomor 18 Tahun 2021 tentang Penyelesaian Penanganan Perkara Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika melalui Rehabilitasi dengan Pendekatan Keadilan Restoratif.
Oleh karena itu Jaksa Agung mendorong Pemerintah Daerah dan penegak hukum untuk berkolaborasi dalam mendirikan rumah rehabilitasi di setiap provinsi dan Kabupaten/Kota, hal ini sebagai upaya yang sangat serius bagi penegakan hukum yang humanis.
Hingga akhir Tahun 2024 Kejaksaan Agung RI berhasil menyelesaikan 241 perkara Narkotika berdasarkan keadilan Restoratif Justice di berbagai Daerah di Indonesia (Epong Reza)