LINTAS NASIONAL – BANDA ACEH, Pemerintah Pusat termasuk jajaran TNI Polri diminta tidak terlalu berlebihan menyikapi persoalan HUT GAM 4 Desember maupun isu penaikan Bendera Bulan Bintang Di Aceh.
“Persoalan HUT GAM itu adalah sebuah nilai historis yang tidak bisa dinafikan karena apapun cerita GAM adalah mitra perdamaian Pemerintah RI dalam mencapai perdamaian Aceh berdasarkan MoU Helsinki yang ditandatangani pada 15 Agustus Tahun 2005 silam,” demikian disampaikan oleh Ketua GeMPAR Aceh Auzir Fahlevi SH pada Jumat 3 Desember 2021 kepada lintasnasional.com
Alumnus Fakultas Hukum Unsyiah itu, menilai sejauh tidak melanggar aturan hukum, tidak ada salahnya jika ada pihak yang merayakan HUT GAM di Aceh.
“Sangat tidak bijak jika HUT GAM itu dilarang-larang, posisi GAM sudah jelas bahwa mereka sudah mengakui keberadaan NKRI setelah menandatangani MoU Helsinki, ini yang harus diperjelas kepada generasi muda, jangan kemudian diputar balik seolah-olah MoU Helsinki adalah jalan menuju kemerdekaan Aceh, ini keliru dan menyesatkan dan dapat dikatakan sebagai penipuan sejarah,” jelas Praktisi Hukum asal Aceh Timur itu
Menurutnya, bukti pengakuan GAM itu mengakui kembali NKRI sudah dibuktikan pada pilkada 2006 dan seterusnya, sebagian mantan Petinggi GAM itu ada yang jadi Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota serta menjadi Anggota DPR baik dilevel Provinsi maupun Kabupaten/Kota termasuk Wali Nanggroe.
“Mereka yang dipilih dan dilantik menjadi Pejabat Pemerintahan itu jelas-jelas telah disumpah jabatannya berdasarkan Undang-Undang 1945 dan Pancasila serta kesetiaannya kepada NKRI,” terangnya
Dalam hal ini GeMPAR menilai sah-sah saja bila kemudian ada pihak-pihak yang ingin memperingati HUT GAM tetapi syaratnya tidak melanggar hukum.
“Persoalan Bendera Bulan Bintang seharusnya segera diselesaikan oleh Pemerintah Pusat, jangan ditunda tanpa alasan yang sah,” tegas Auzir
Terkait persoalan Bendera dan Lambang Aceh Auzir menilai secara hukum sudah sah, itu sebenarnya sudah tertuang dalam Qanun Nomor 3 Tahun 2013 dan sudah disahkan oleh DPR Aceh bersama Pemerintah Aceh.
“Secara otomatis sudah sah dengan sendirinya karena sudah melampaui masa 60 hari sejak disahkan sesuai pasal 145 UU Nomor 32 Tahun 2004 Ayat 7 Tentang Pemerintahan Daerah tapi masalahnya tidak dianulir oleh Pemerintah Pusat berupa pembatalan melalui Perpres atau Judicial Review Mahkamah Agung berdasarkan ketentuan pasal 24A UUD 1945,” jelasnya
Padahal Kata Auzir Pemerintah Pusat sudah memiliki pandangan hukum terkait Qanun Bendera dan Lambang Aceh itu bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2007 Tentang Lambang Daerah dan Kepentingan Umum.
Namun kesalahan Pemerintah sendiri mengabaikan Qanun tersebut hingga melampaui batas waktu 60 hari sehingga secara hukum Qanun Bendera dan Lambang Aceh itu sah.
“Karena itu kami meminta agar para mantan Petinggi GAM yang masih hidup dan peka terhadap perdamaian Aceh untuk memaksimalkan kembali koordinasi dan sinergisitas yang baik dengan Pemerintah serta unsur stakeholder lainnya di Jajaran Pemerintah Pusat,” katanya lebih lanjut
Persoalan bendara dan lambang Aceh kata Auzir merupakan keputusan politik serta hukum yang sah/legal dari DPR Aceh, yang mewakili berbagai anggota partai politik nasional dan lokal periode 2004-2009, disusul periode 2009-2014 dan 2014-2019 yang dipilih melalui mekanisme Pemilu yang sah sesuai konstitusi NKRI.
“Begitupun, kami menaruh harapan agar Pemerintah Pusat tidak alergi jika ada kelompok dan Ormas di Aceh yang terus menyuarakan agar persoalan Qanun bendera dan Lambang Aceh Maupun hal lainnya diselesaikan, itu semata-mata untuk meneguhkan kembali komitmen dan konsistensi kedua belah pihak baik pihak GAM maupun Pemerintah RI dalam merawat Perdamaian Aceh sehingga tidak dimanfaatkan oleh pihak lain untuk kembali menabur benih-benih genderang pemberontakan baru di Aceh,” pungkas Ketua GeMPAR Aceh Auzir Fahlevi SH (AN)