
Di dunia pergerakan sipil (aktivis HAM) dalam kondisi Aceh masih konflik, Abu Suhai muda telah banyak berkiprah dalam aksi-aksi jalanan. Ia andil di berbagai demonstrasi termasuk pernah ikut bergabung dalam gerakan aktivis pemuda Indonesia untuk kemanusiaan pada 2002 di Jakarta.
Abu Suhai menyebutkan, ketika sedang aktif-aktifnya di dunia aktivis dirinya kerap menjadi fasilitator pelatihan dan pendidikan. Terutama terkait pemahaman masyarakat Aceh akan pelanggaran HAM yang saat itu terjadi di Aceh.
Ketika itu, tambahnya, ia juga kerap pulang pergi Aceh-Jakarta dalam misi kemanusiaan, menjadi bagian dalam mengadvokasi kasus-kasus pelanggaran yang terjadi di Tanah Rencong.
“Di era itu pula saya bertemu dengan Hasballah M, Menteri HAM Indonesia kala itu,” kata Abu Suhai.
Beranjak dari 1998, puncak aktif-aktifnya Abu Suhai beriring dengan memanasnya kondisi Aceh, tepat menjelang 2000-an. Konflik panjang Aceh dan kehilangan Ayahanda serta Abang tercinta menjadi kunci utama baginya untuk bergabung dengan lembaga HAM.
Di dunia jalanan (aktivis), Abu Suhai bukanlah orang baru. Saat itu, ia telah satu visi dan satu wadah dengan aktivis-aktivis Aceh lainnya, seperti Agus Wandi, Kautsar Muhammad Yus, Thamren Ananda, Tarmizi dan lain-lain.
Kisah perjalanan hidup ini, dikisahkan Abu Suhai kepada Lintasnasional.com, 17 Agustus 2022 di salah satu warung kopi seputaran Bireuen.
Ia menceritakan jalan terjal perjalanan karirnya, yang kini telah menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) 2 periode, 2014-2019, dan 2019-2024 dari partai PNA.
Haru biru dan terjalnya perjalanan Abu Suhai, telah mengantarkannya menjadi sosok yang diperhitungkan, dihormati juga disegani di Bireuen. Bagaimana tidak, Ia kini menjadi satu-satunya wakil rakyat yang paling kritis di parlemen DPRK Bireuen.
Ditangkap TNI
Tak hanya menjadi tawanan GAM, Abu Suhai muda juga pernah ditangkap pihak TNI pasca Tsunami Aceh Desember 2004 silam. Peristiwa itu terjadi setahun setelah gempa dahsyat meluluhlantakkan bumi Serambi Mekkah.
“Saya ditangkap 10 hari menjelang perdamaian Aceh,” katanya.
Kejadian itu, kisah Abu Suhai terjadi pada 2005. Ia dikurung selama 1 hari dalam kamp penyiksaan di Pandrah. Peristiwa itu terjadi ketika ia sedang menyalurkan bantuan untuk korban tsunami.
“Saya dicurigai memberi bantuan untuk GAM,” tandasnya.
Setelah dikurung semalaman di kamp aparat, Abu Suhai akhirnya dilepas. Lagi-lagi, nasib baik berpihak kepadanya. Bak pepatah Aceh, “lheuh bak babah rimueng meukumat bak babah buya”. Begitulah rentetan hidup yang pernah dialaminya.
Dari semua kejadian itu, tak pula membuat semangat Abu Suhai muda memudar. Sebagai aktivis, hal serupa itu bukanlah suatu yang asing bagi para pemuda Aceh kala itu. Apalagi anak-anak muda seperti Abu Suhai yang hampir setiap hari menyuarakan keadilan terkait banyaknya korban pelanggaran HAM.
Menjadi Ketua Partai
Abu Suhai terjun ke dunia politik praktis pada 2008, ia pertama kali bergabung dengan Partai Rakyat Aceh (PRA). “PRA partai lokal pertama di Aceh,” katanya.
Di PRA, Abu Suhai bersatu padan dengan aktivis-aktivis Aceh seperti Aguswandi, Kautsar Muhammad Yus, Rahmad Jailani, Thamren Ananda dan almarhum Ridwan Mukhtar.
“Saat itu, pihak rival politik mengklaim PRA bukan partai lokal,” ujarnya.
Setelah berdirinya PRA, Abu Suhai ditunjuk sebagai ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW-PRA) kabupaten Bireuen. Saat itu pula dirinya diusung sebagai calon legislatif (caleg) yang barangkali saat itu menjadi keterwakilan dari kaum muda.
Namun, kata Abu Suhai lagi, atmosfer politik Aceh memang seperti gelombang pasang. Mustahil Partai Aceh dapat disaingi saat itu. Apalagi kita yang tinggal di pesisir utara Aceh yang masyarakatnya memang mayoritas menjadi bagian dari tubuh pergerakan GAM.
“Dari hitungan suara, sebenarnya PRA Bireuen mendapatkan 2 atau 3 kursi, namun saat itu Aceh sedang dilanda tsunami politik. Ya, dibiarkan saja, kita tak belum berani jauh. Sebab pasca itu wajah Aceh masih menyisakan wajah konflik,” papar Abu Suhai.
Usai satu periode menjabat sebagai ketua PRA Kabupaten Bireuen dan gagal terpilih menjadi wakil rakyat, Abu Suhai kembali fokus pada dunianya, kembali dalam aktivitas sebagai aktivis sosial dan lingkungan.
Mendirikan Aceh Green Conservation
2008, seiring menyibukkan diri dengan partai politik lokal, Abu Suhai mendirikan yayasan Aceh Green Conservation (AGC) pada Tahun 2006 yang fokus pada pelestarian lingkungan, pendidikan lingkungan dan advokasi lingkungan. “Saat itu namanya masih Aceh Green Care,” sebutnya.
Abu Suhai mengungkapkan, saat itu AGC mendapat dukungan dari berbagai pihak donor (donatur) dari negara luar, termasuk dari Unicef. Bahkan AGC mendapatkan banyak program lingkungan hampir di seluruh Aceh.
Perjalanan demi perjalanan, sebut Abu Suhai, membawanya fokus menjalankan program-program di AGC. fokus pada sosialisasi dan pelatihan-pelatihan terkait lingkungan di beberapa kabupaten kota di Aceh.
“2008, AGC sedang giat-giatnya, bahkan mendapat donor dari Jerman dan Belanda,” jelas Abu Suhai.
Abu Suhai mengatakan, dirinya giat dalam membangun relasi, AGC menjadi titik fokusnya dalam bersosial dan mengkampanyekan pelestarian lingkungan kepada orang banyak. Disamping ia mendapat dukungan dari rekan-rekan seperjuangannya dulu.
Bergabung dengan PNA
Perjalanan politik dan aktif di AGC, telah membuat Abu Suhai muda dikenal oleh berbagai kalangan, apalagi karakternya yang kritis membuatnya mudah untuk mencuri perhatian publik, utamanya para pemangku jawatan kala itu.
AGC telah membawa Abu Suhai kemana-mana, dikenal banyak kalangan, diundang menjadi pembicara di banyak kegiatan yang berbau dengan alam, lingkungan dan kepemudaan. Bahkan dalam berbagai acara seminar.
2012, masa jabatannya menjadi ketua partai PRA telah berakhir. Abu Suhai kemudian terlibat dalam partai PNA besutan Irwandi Yusuf. Ia merupakan salah satu dari banyaknya para pemikir muda yang masuk dalam list pendiri PNA saat itu.
“Saat itu, kami di PRA bergabung bersama bang Wandi. Ketika bang Wandi kalah pada pilkada 2012, kami berinisiatif untuk membuat partai, maka lahirlah PNA,” papar Abu Suhai.
Dari PRA saat itu, kata Abu Suhai, yang ikut bergabung dengan bang Wandi adalah Fahlevi Kirani, Thamren Ananda, Tarmizi dan beberapa kawan lain, termasuk dirinya.
“Banyak kawan-kawan aktivis yang mendukung dan bergabung dengan bang Wandi kala itu,” tukasnya.
Ketika partai PNA hendak didaftarkan dan menjadi partai lokal baru di Aceh setelah PA, tambah Abu Suhai, dirinya mendapat mandat dari Irwandi Yusuf untuk memperkuat struktur PNA di tiga kabupaten, meliputi Bireuen, Lhokseumawe dan Aceh Utara.
“Di Aceh Utara, saya pernah dikejar oleh pihak rival. Saat itu politik Parlok di Aceh begitu panas, banyak pihak yang tak terima dengan lahirnya PNA,” selanya.
Setelah PNA terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), para pengurus PNA Bireuen meminta Abu Suhai muda untuk menjadi sekretaris (sekjen) Dewan Perwakilan Wilayah Partai Nanggroe Aceh (DPW-PNA) Bireuen. Namun, ia menolak mandat tersebut.
Penolakan itu tak diterima oleh para kader dan pengurus partai. Saat itu, para petinggi partai amat percaya bahwa Abu Suhai bisa membawa PNA ke arah yang lain baik, bahkan mereka juga yakin dengan mandat yang diberikan kepada mantan aktivis tersebut.
“Saya menjadi sekjen PNA Bireuen dari 2012,” tuturnya.
Bersambung
Penulis: Adam Zainal