Jimat

@luputan6

Oleh: Adam Zainal

Sehari sebelum Aiyub meninggalkan Gampong Lumpoe dan kembali ke Bandar Kuta, (tempat ia menatih hidup), ada pesan dan kesan yang dititipkan Apa Suman, Abu Li cs, Lem Dawod, bang Seuhak, bang Matnu, juga Cutpo lamah kepadanya. Bahkan Meliani juga amatlah besar ditanggungnya beban atas kepergian lelaki pujaannya itu untuk yang kesekian kalinya. Tentu bukan tanpa alasan, setelah Ayu (gadis kota) datang ke kampung kami beberapa tahun yang lalu-lalu.

Aiyub dapat membaca apa yang sedang dipendam Meliani, hatinya tentulah risau dan berat sekali untuk melepaskan kepergiannya. Memang sangat tak masuk akal, bila hampir semua anak dara di sagi kami mengagumi Aiyub. Bahkan banyak dari para warga yang menginginkan lelanang pendiam tersebut untuk menjadi menantunya.

Wajah Aiyub memang tak rupawan, amatlah hancur lebur dan terlihat pas-pasan, tapi entah apa yang membuat orang-orang terikat kepadanya? Meliani adalah satu-satunya alasan baginya untuk sering pulang ke kampung, walau di kelana rantau amatlah banyak dara-dara lain yang lebih menawan darinya. Kadang cinta amatlah tulus dan jujur, sehingga kesetian hadir di antara keduanya.

Satu persatu pesan dan kesan para peutuha kampung dicatatnya dengan baik-baik di ingatan. Ia menganggap itu sebagai wangsit penting yang diamanatkan kepadanya. Tak ayal pula bila wasiat itu serupa petuah atau pula mantra, bahkan do’a-do’a keselamatan serta keberuntungan selama ia berada di kelana kota. Pula ia akan selalu dijaga oleh arwah para leluhur. Teramat sangatlah primitif dan jumud para warga di kampungnya di usia dunia semaju ini masihlah saja mereka peduli serta kukuh memugar hal-hal kuno serupa itu.

Namun, apa jawaban mereka jika Aiyub menepis, juga tak mengindahkan petuah mereka? Amatlah gamblang dan masuk akal. Sungguh!

“Secanggih apapun dunia, iblis dan makhluk sebangsanya tidak akan mati karena Nuklir, Bom Atom, dan senjata-senjata kimia lainnya. Mereka baru tamat ketika dunia sudah kiamat,” kata Cutpo Lamah di hadapan kerumunan warga kampung yang hendak melepas kepergian Aiyub ke bandar Kuta.

Sekehendak Aiyub kembali ke Bandar Kuta, warga di Gampong Lumpoe memberikan bermacam ragam penganan atau pula buah tangan untuknya. Baik berupa buah-buahan, ikan asin, telor asin, beras, juga kue-kue peninggalan leluhur kami seperti Timphan, Halua, Doi, Meuseukat, Keukarah, Kue Supet, Boi, dan tentunya kue yang amat ia sukai hanyalah kue buatan ibunya sendiri.

Hal itu adalah wujud dari tradisi bermasyarakat di kampung kami. Kehidupan masyarakat Gampong Lumpoe sungguhlah arif dan bijaksana. Sikap “tulong meulong” (tolong menolong antar sesama) masih utuh tumbuh dalam setiap jiwa penduduk kampung itu.

Selain memberikan buah tangan seperti buah-buahan dan kue-kue, Abu Li juga membekali Aiyub dengan sebuah jimat yang dibuatnya dari benang tujuh warna, pula mengajarkannya cara membaca mantra-mantra, guna untuk penangkal jiwa raganya di rantau sana.

Ihwal itu bukanlah kejumudan atau primitif, bahkan sampai hari ini hal serupa itu masih berlaku di kalangan masyarakat Negeri Syariat yang berdaulat dan megah itu. Gunanya jimat diyakini untuk melindungi diri dari gangguan Jin, tenun, guna-guna, dan makhluk gaib sebangsanya, menurut orang kebanyakan.

Di lain sisi, jimat merupakan benda pusaka yang mendapatkan tempat paling tinggi bagi kebanyakan masyarakat Gampong Lumpoe. Selain pusaka fisik berupa tanah, perhiasan dan harta benda, jimat juga merupakan Boinah (harta pusaka) yang wajib diterima oleh ahli waris, terlepas dari alasan apa pun.

“Baik, ” jawab Aiyub. Cutpo Lamah masih saja memberikan wejangannya. Di matanya yang teduh, Aiyub melihat rasa cemas yang amat besar. “Atau jangan-jangan, dia khawatir bila kepergian Aiyub kali ini adalah sebagai titik awal untuk meninggalkan Meliani, putri kesayangan?”

“Aku khawatir kau tak akan kembali lagi ke kampung ini setelah mendapatkan kehidupan baru dan layak di Bandar Kuta, Aiyub,” kata Cutpo Lamah.

Kekhawatiran perempuan Sufi Gampong Lumpoe itu seakan mencegat langkah Aiyub untuk tak kembali lagi ke rantau. Namun, doa ibunya adalah pangkal dari segalanya. Ibunya telah berdoa berjuta-juta kali untuknya ketika tiba di Bandar Kuta. Pula ia merupakan segalanya bagi Aiyub. Ia adalah cinta dan kasihnya, tempat sebenarnya ia pulang.

Jarum jam berpacu pada angka 09.00 WIB pagi. Orang-orang masih saja bersila, ada pula satu dua yang rela berdiri dari puluhan menit yang lalu menunggu mobil yang akan menjemput Aiyub. Rasa sosial di kampung kami amatlah besar nilainya, tak terhingga dari apa apu. Tumpuan persaudaraan itu lahir dan tumbuh dari abad ke abad, juga dari masa ke masa di tanah asin persada ini. Hal itulah yang menjadi pangkal dasar dari kerukunan hidup masyarakat di tepi pantai asing itu, walau kami lahir dan besar dalam karakter yang keras dan tungang-tungang.

“Hakikatnya manusia adalah yang besar keraguannya ketimbang keyakinannya, Cutpo,” jawab Aiyub. Ia masih mencerca pernyataan wanita paruh baya itu dengan nalar yang terbuka lebar-lebar. Sementara Cutpo Lamah amat jauh menelisik akan prinsip dan kesetiaan Aiyub kepada Meliani.

Namun, yang amatlah diingat oleh Aiyub sebagai penganan atau oleh-oleh dari kampungnya adalah “jimat” yang diberikan Abu Li kepadanya. Jimat itulah yang membuat pikirannya melintas kemana-mana. Pun, menimbulkan ragam pertanyaan di benaknya.

“Apakah mungkin ini sebuah penangkal atau benda yang dapat melindungi dan membantuku saat kesulitan di rantau?” tanya Aiyub dalam hati.

Di senja zaman yang sudah semaju dan secanggih ini, masih banyak juga orang-orang yang percaya pada dunia takhayul (gaib) yang di dalamnya dihuni oleh Raja Itam, Kangkang Kuala, Burong Tujoh, Raja Rimba, Raja Eungkong, Raja Bangsawan, Raja Laot, Hantu Laot, Isah Teureubang, Beururu, Sane ie, Sane Apui, Gayong Bude, Gayong Apui, Hantu Tanoh, Pari, Paridon Pari, Rimung Puteh, Ben Sureng dan lain-lain. Bahkan yang paling rendah seperti Maop, Kojet, Burong boh Leuping, Balum Bidi, Geunteut, Burong Meuaneuk, dan Ramanyang.

Semua itu adalah nama-nama makhluk gaib dalam kehidupan orang Aceh. Hal ini hanya diketahui betul oleh orang-orang yang punya keterkaitan dengan dunia lain tersebut. Tak semua orang tahu dengan ragam nama makhluk perantara sesembahan para pemuja syaitan ini. Menurut para peutuha di sagi kami, orang yang memuja iblis rentan menjadi pelaku tenun, santet, dan guna-guna terhadap orang lain. Dengan alasan apa saja, baik soalan sakit hati, atau memang khusus berprofesi sebagai dukon (dukun) atau sebagainya.

Di luar negeri, yang tidak lagi masuk dalam wilayah kekuasaan Nagari Pasang Geurahang. Orang-orang yang memiliki kemampuan berinteraksi dengan makhluk gaib disebut sebagai orang pintar, paranormal, atau yang paling rendah disebut sebagai dukun. Tetapi, di negeri kami yang bersyariat dan seluruh masyarakatnya taat kepada Tuhan, kelompok pemuja benda purba itu disebut dengan Teungku, Abu, Abi, dan sebagainya.

Di tempat kami, manusia merupakan makhluk yang amat dimuliakan. Sekelas kaum pemuja iblis saja mendapat lakap agung yang amat mulia, apalagi manusia yang memang selalu terlihat suci, dermawan dan baik budi, suka menolong dan membagi-bagikan bantuan sosial kepada masyarakat! Walau pada dasarnya bantuan yang diiberikan itu berasal dari uang rakyat, yang secara konstitusi adalah hak mereka.

Di lain pihak, Apa Suman tahu bahwa Abu Li memberikan penangkal kepada Aiyub. Sedari pagi lelaki senja itu berdiam diri. Tatapannya selalu mengarah kepada pemuda yang amat disayanginya itu. Aiyub tahu, Apa Suman tak menyukai oleh-oleh yang ia terima dari Abu Li, namun ia tak mengatakan apa-apa. Lantaran, ia menghargai Abu Li sebagai kawan karibnya.

Jimat yang diberikan Abu Li masih dipegang dengan erat, tak kunjung ia masukkan ke dalam tas. Aiyub masih curiga dan ragu-ragu dengan benda mistis pemberian Abu Li tersebut. Di samping sekadar untuk menghargai pemberiannya saja, walaupun tak sedikit-pun bermanfaat untuknya yang masih amat muda itu.

Mobil yang menjemput Aiyub baru saja tiba. Ia berpamitan pada Apa Suman, Abu Li, Lem Dawod, bang Seuhak, bang Matnu, juga Cutpo Lamah beserta semua warga kampung yang melepaskan kepergiannya hari itu. Termasuk kepada mak dan bapaknya yang menjadi energi dalam setiap ayunan langkah serta kehidupannya di rantau.

Maknya serupa baterai, pun menjadi pelita yang menerangi semua sudut gelap kelana rantaunya. Pula bapaknya merupakan cerminan yang selalu memantulkan kekuatan positif di setiap langkah kakinya menapaki tangga kehidupan. Sikap Aiyub dengan bapaknya tak jauh berbeda, amatlah sama, beririsan seperti purnama dan bintang gemintang. Bahkan tiada bandingannya dengan apa pun. Rasa cinta terhadap kedua orangtuanya mengalahkan rasa cinta Romeo dan Juliet, pun rindunya kepada keduanya mengalahkan rindu dendam Adam dan Hawa.

Usai ritual pelepasan itu, masyarakat Gampong Lumpoe mulai membubarkan diri, yang tersisa hanya bau asap dan bekas ban mobil beserta sepatah kata selamat jalan.

Penulis merupakan wartawan lintasnasional.com tinggal di Bireuen, Aceh.