Sosok  

Mengulik Sisi Lain Sosok Surya Paloh

JUDULNYA sederhana, bahkan sangat sederhana, hanya Surya Paloh. Memang nama itu sudah demikian dikenal. Sering disebut di layar kaca maupun tertulis di media. Publik mengenalnya sebagai politisi, pengusaha, dan tokoh pers.

Tampaknya, judul itu disengaja. Surya Paloh bukan hanya sosok yang kerap tampil di televisi ataupun disebut di media. Di balik nama besar itu, ia tetap saja seorang manusia biasa dengan segala dimensinya. Ia sebagai persona yang tidak bisa dicitra hanya dari satu sisi.

Berbagai buku tentang sepak terjang Surya Paloh sudah banyak ditulis. Misalnya, Surya Paloh Sang Ideolog yang ditulis Usamah Hisyam. Namun, tak banyak di antara buku itu yang mengupas sisi humanisnya.

Begitulah buku Surya Paloh hadir untuk mengisi kekosongan itu. Selain kupasan humanis, buku itu juga membeberkan sesosok Surya Paloh dengan berbagai terobosan. Ia dikenal kerap melempar gagasan gagasan besar yang kemudian diaplikasikan anak buahnya di lapangan.

Gagasan dan tindakan besar itu tidak lahir begitu saja, tetapi didahului dengan hal kecil yang bersumber dari sisi kemanusiaannya. Sebab itu pula, buku dibagi ini menjadi 4 bagian untuk membingkai sisi humanis Surya Paloh, yakni Hati yang Lembut, Menembus Waktu, Politisi Humanis, dan Menjaga NKRI.

Buku itu jauh dari kata asal bapak senang (ABS) meski diterbitkan saat usia Surya Paloh genap 69 tahun. Buku itu ditulis tanpa mewawancarai sang tokoh. Alhasil, Surya Paloh digambarkan seperti apa adanya, tidak ada polesan ataupun solekan. Selain dari sudut pandang kolega sekaligus karyawan, ada pula sekapur sirih dari putranya, Prananda Surya Paloh.

Ditulis secara keroyokan oleh 4 jurnalis kawakan; Abdul Kohar, Didik Suryantoro, Gantyo Koespradono, dan Kleden Suban.

Dibuka cukup menghentak dengan judul Pelayan yang Baik Hati, Gantyo bercerita bagaimana kedekatan bosnya itu dengan anak buahnya. Hampir hampir tidak ada jarak. Bahkan suatu ketika Gantyo dan Surya Paloh sama sama mengambil es krim. Surya lebih dahulu mendapati es krim di tangannya. Tiba-tiba saja dia memberikan es krim-nya untuk Gantyo, yang tak lain anak buahnya di Harian Media Indonesia.

Berbincang tentang gaya Surya Paloh di podium mungkin bukan hal baru. Gaya pidato dipadu suara khasnya cukup sering sampai ke telingga publik.

Namun, pernahkah membayangkan Surya Paloh bernyanyi dengan suara khasnya? Suara basnya bisa jadi dominan. Nyatanya, Surya Paloh memang do yan bernyanyi saat santai. Apalagi bersama dengan anak buahnya. ‘Merdukah suara Surya Paloh? Ehmmm… tidak semua nada disenandungkannya dengan benar, alias fals, baik My Way maupun Tidak Semua Laki-Laki’ (hlm 32).

Masih pada bagian yang sama, buku itu mengungkap sosok Surya yang tidak te gaan. Ia banyak membantu banyak orang saat mereka mentok, seperti yang dialami dua anak buahnya, Desi Fitriani dengan gigi palsunya dan Laurens Tato yang terkena stroke. Bahkan, sisi kemanusiaan Surya Paloh sering kali muncul saat ia dihadapkan dengan musibah yang menimpa karyawan nya. ‘Saat ada karyawan yang dilanda sakit kronis, misalnya, Surya meminta manajemen Media Group untuk mengabaikan plafon pembiayaan dari asuransi kesehatan yang ditanggung’ (hlm 50).

Surya Paloh punya kepercayaan besar pada anak buah. Baginya karyawan adalah kawan seperjuangan atau setidaknya rekan kerja. Berkaca pada krisis moneter 1998, Surya mengumpulkan seluruh karyawan. Ia menyampaikan kondisi perusahaan. Ia menanyakan kerelaan dari karyawan untuk potong gaji 20% agar tidak ada pemutusan hubungan kerja (PHK).

Itu pula yang diteladani manajemen Media Group kala pandemi covid-19. Tidak akan melakukan PHK terhadap karyawannya sebab karyawan yang menjadi keluarga besar itu telah melewati suka duka selama puluhan tahun bersama Media Group.

Sebagai pemilik perusahaan media, ternyata Surya mungkin tidak seperti yang dikira banyak orang sebagai sosok ‘berkuasa’ di media miliknya. Nyatanya, ia pun pernah ‘kalah’ di news room sebab proses perdebatan di meja redaksi adalah hal tak terelakkan saat menentukan headline yang bakal diangkat di halaman muka Media Indonesia.

Adu argumen dengan sang pemilik koran menjadi hal yang lazim. Di ujung perdebatan, sembari tersenyum Surya kembali melontarkan pertanyaan bernada skeptis. Dia menyerahkan keputusan akhir di tangan rapat redaksi. Meskipun Surya punya pandangan sendiri, ia tidak memaksakannya. ‘Begitulah gaya Surya Paloh beradu argumentasi dengan para awak redaksi di news room. Ia tak mau memaksakan kehendak, kendati ia yakin bahwa pendapatnya benar dan berbasis fakta’ (hlm 90).

Dalam hal aksi kemanusiaan, Putra asli Aceh tersebut juga punya jalan sendiri. Ia menggerakkan semua sumber daya yang dipunyainya untuk membantu meringankan beban mereka yang terkena musibah. Rekam jejak itu dapat diturut sejak musibah tsunami di Aceh (2004) hingga pandemi covid-19. Ia juga menekankan agar penyaluran dana bantuan setransparan dan seakuntabel mungkin. Tak ragu untuk melibatkan lembaga audit tepercaya.

Bagaimanapun, ia berprinsip jangan pernah khianati kepercayaan yang telah diamanahkan. ‘Lagi-lagi Surya Paloh mengambil inisiatif untuk bergerak membantu semaksimal mungkin berbagai upaya penyelamatan anak bangsa ini dari virus mematikan bernama korona’ (hlm 176). Pancasilais Sosok Pancasilais dan nasionalis itu merasa sudah mendapat banyak dari ibu pertiwi.

Saat ini, ia hanya ingin mewakafkan miliknya pada bangsa Indonesia. Ia menggerakkan segala daya upaya untuk satu muara yakni Indonesia yang tetap utuh sebagai negara dan sebagai bangsa yang sejahtera. ‘Izinkan ya Allah, ambil saja nyawaku jika kami tidak berbuat apa-apa dan menjadikan negeri ini gagal’ (hlm 74).

Buku ini mengungkap sisi berbeda dari sosok yang telah selesai dengan dirinya sendiri. Ia sudah mencapai puncak sebagai pengusaha andal, tokoh publik, dan politikus hebat. Namun, siapa sangka, ternyata Surya Paloh ialah sosok yang kerap kesepian, mudah iba, dan bisa menangis. (mediaindonesia)