Iklan DPRK Aceh Utara untuk JMSI

Iklan Lintas Nasional

Muhammad Shaleh: Dikotomi Sipil-Militer Sangat Tendensius dan Usang

Muhammad Shaleh (Ist)

LINTAS NASIONAL – BANDA ACEH, Muhammad Saleh, mantan Anggota Tim Penasihat Presiden RI Urusan Aceh (1999-2000) menilai, munculnya beragam pendapat tentang penolakan pejabat militer sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Aceh, merupakan narasi yang sangat tendensius dan usang.

Alasannya, dikotomi sipil versus militer di Aceh, apalagi dikaitkan dengan sosok Plt Gubernur Aceh mendatang, tidak sesuai lagi dengan kondisi sosial dan politik Aceh terkini.

Pendapat ini disampaikan Shaleh begitu dia akrab disapa melalui keterangan tertulis kepada awak media pada Selasa, 5 April 2022 di Banda Aceh.

Menurut Shaleh, paska perjanjian damai antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah Indonesia, 15 Agustus 2005 silam di Helsinki Finlandia. Dikotomi sipil-militer di Aceh menjadi tidak relevan. Apalagi dikaitkan dengan trauma masa lalu.

Sebab, sebelumnya Aceh juga sudah pernah dipimpin Plt Gubernur Aceh yaitu, Mayor Jenderal TNI Soedarmo, yang merupakan birokrat dan tokoh militer Indonesia. Terhitung pada 28 Oktober 2016 dan berakhir pada 11 Februari 2017.

“Coba tunjukkan dan buktikan bahwa rakyat Aceh masih mengalami trauma konflik masa lalu saat Aceh dipimpin Pak Soedarmo. Jadi, ini logika dan alasan politik yang terlalu dicari-cari,” ujar mantan Ketua Badan Koordinasi (Badko) Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Aceh ini.

Sebaliknya kata Shaleh, Aceh juga pernah dipimpin Plt Gubernur dari sipil yaitu; Dr. Mustafa Abu Bakar serta Tarmizi A. Karim, faktanya, kondisi sosial, politik dan ekonomi Aceh juga tidak baik-baik saja.

Begitupun, Pimred Tabloid Modus ini mengaku dapat memahami jika ada pendapat dari politisi atau pimpinan partai politik tertentu, yang ingin sosok Plt Gubernur Aceh mendatang tidak berasal dari kalangan pejabat militer. Ini terkait kontestasi Pileg, Pilpres dan Pilkada Aceh 2024 mendatang.

“Ya sudahlah, jangan karena ambisi serta kepentingan partai politik tertentu, lalu membawa-bawa nama rakyat dengan membentuk framing anti pejabat militer dan trauma masa lalu,” kritik Shaleh.

Sekedar informasi, Gubernur Aceh Periode 2017-2022 pada 5 Juli 2022 mendatang akan berakhir masa tugasnya. Saat ini, orang nomor satu Aceh dipegang Nova Iriansyah, setelah gubernur definitif Irwandi Yusuf ditangkap OTT KPK pada 3 Juli 2018 lalu di Banda Aceh.

Itu sebabnya Shaleh menilai, rakyat Aceh hari ini butuh Plt Gubernur yang kuat (strong leadership). Ini untuk menjawab berbagai kegagalan yang telah diwariskan Nova Iriansyah sebagai Gubernur Aceh.

Tegas Shaleh, Plt Gubernur Aceh merupakan sosok perpanjangan tangan pemerintah pusat di Aceh dengan masa tugas terbatas. Ini berarti bukan produk dari proses atau hasil Pilkada.

Karena itu diharapkan, Plt Gubernur Aceh adalah sosok yang mendapat kepercayaan penuh dari Presiden RI Joko Widodo (Jokowi), sehingga berbagai ketimpangan program pembangunan dan anggaran yang selama ini terjadi di Aceh dapat direhabilitir kembali.

“Jadi, bukan masalah putra Aceh asli atau bukan dan jangan pejabat militer. Tapi sosok yang dekat dengan ulama dayah serta pesantren, kalangan perguruan tinggi negeri dan swasta serta pimpinan partai politik dan DPR Aceh. Nah, kalau kreteria ini ada pada sosok pejabat militer dan non putra Aceh, kenapa tidak,” ungkap wartawan senior ini.

Selain itu, mulai tahun 2023 sudah mulai memasuki tahapan politik seperti Pilpres, Pileg dan Pilkada tahun 2024. Karenanya dibutuhkan Plt. Gubernur Aceh dari sosok militer yang netral atau tanpa irisan dengan parpol tertentu, sehingga hasil kontestasi demokrasi lima tahunan tersebut, benar-benar berjalan secara demokratis.

“Bersikap kesatria saja. Kondisi pandemi Covid-19 saat ini, buktinya militer (TNI AD) berada di garda terdepan bersama rakyat Aceh dalam melakukan sosialisi pencegahan dan vaksinasi”, begitu tutup Shaleh. (AN/Red)