Oleh: Fauzan Azima
Pada Januari 2002 dalam perjalanan dari kawasan Pasir Putih ke kawasan Goneng, Samarkilang, di kejauhan tampak puluhan ekor rusa. Satu di antaranya berwarna putih. Mereka sedang asyik berjemur dan tidak menyadari kedatangan kami. Angin mengarah kepada kami, sehingga indra penciumannya tidak bisa mengendus kami.
Dua orang pasukan mengendap-endap agar bisa membidiknya dari jarak dekat. Setelah posisi pas, dua pasukan itu mulai menembaki rusa-rusa itu. Seorang pasukan menembak dengan otomatis dan seorang lagi dengan semi otomatis. Anehnya tidak satu ekor pun yang kena. Padahal jarak tembak hanya 20 meter. Sangat mustahil rasanya, tidak se-ekor rusa pun yang tumbang.
“Kalau ada rusa putih di antara rusa-rusa itu, jangankan dengan peluru, dengan meriam sekali pun mereka tidak akan cedera” kata sang Pawang memahamkan fikirin kami.
Semula kami sangat kecewa pada kedua pasukan itu. Masak sasaran yang besar dan sangat dekat bisa gagal. Hayalan kami tadinya menembus langit, akan ada pesta besar makan daging rusa. Ekspektasi kami terlalu tinggi. Sehingga ketika tidak dapat, kami tidak bisa menyembunyikan kekecewaan.
Akhirnya kami faham, hutan dengan segala isinya, punya aturan tersendiri. Walaupun manusia sebagai khalifah, tidak serta merta bisa berbuat dengan sesuka hatinya. Sebagai mana di kampung, ternak-ternak ada pemiliknya. Begitu juga satwa di hutan, termasuk rusa ada yang punya. Kita tidak diizinkan untuk menangkapnya, kecuali sudah mendapat izin dari pemiliknya.
Siapa pun masuk hutan harus patuh kepada “aturan adat” di sana. Seperti masuk ke rumah orang, harus permisi dan mengucap salam serta memberi tahu apa maksud dan tujuan kepada tuan rumah atau penguasa hutan di sana.
Bismillahirrahmanirrahim
Assalamualaikum
Sidang tetap
Sidang mu’min
Sidang shaleh
Shaleh shalihin
Tengku Malem Item
Tengku Malem Putih
Ko jema alus
Kami jema kasar
Osah ko teba “Bujang Lano” dan “Putri Mahdum” ken nemah kami ulak.
Berkat kalimah Lailahaillallah
Muhammadar Rasulullah
Ini persalaman ku kam (sambil membakar kemenyan).
Atau ada juga yang memberi salam kepada bangsa jin;
Hey,
Jin Pari,
Jin Seniwen,
Jin Senamun,
Aleh kajak tung
Keno taba rusa nyan kepada aku
Setidaknya demikian persalaman dan penghormatan kita kepada makhluk Allah, ketika akan memasuki kawasan hutan. Kita harus sebutkan apa yang kita inginkan. Kalau ingin rusa jantan sebut “Bujang Lano” dan kalau ingin rusa betina sebut “Putri Mahdum”. Permintaan itu harus “clear and clean”.
Jangan pernah berjanji kepada “makhluk halus” di sana, karena kalau tidak kita tepati, mereka akan terus menagihnya dan selama tidak kita penuhi, mereka akan terus mengganggu sampai kepada anak cucu kita.
Andai kita dapat rusa putih, berarti “ahlul badri” di sana sangat sayang kepada kita. Rusa berwarna putih seperti kertas adalah hadiah yang terbaik, mungkin atas kebaikan akhlak dan keikhlasan dalam mencari rizki di hutan.
Rusa-rusa pada setiap kawasan berbeda pemiliknya, walau pun pemilik dari keseluruhan adalah Tengku Malem Putih. Sehingga setiap kawasan rusa-rusa itu diberi tanda pada telinganya. Satu pematang ada yang telinga kiri atau kanan yang dipotong ujungnya (gerpung), sedangkan pada pematang lain ada yang dibelah satu atau dua setiap daun telinganya, baik kiri maupun kanan. Setiap ciri di telinganya rusa-rusa itu, bertanda lain pemiliknya.
Kemampuan pawang berbeda-beda dalam berinteraksi di kawasan hutan. Ada pawang berani berjanji bahwa dirinya mampu memberikan jamuan rusa kepada masyarakat. Tokh, kalau ternyata tidak ada rusa yang kena, pawang itu bisa merubah nangka menjadi rusa, tetapi ketika disantap, tetap rasa nangka.
Tidak jarang juga pawang bisa bekerja sama dengan harimau dalam mengejar rusa, tetapi setelah kena sebagian jantung, paru-paru, hati, daging dan telinganya harus segera dipersembahkan kepada harimau itu. Pawang harus memenuhi janjinya, kalau tidak ingin musibah pada dirinya.
Di dalam hutan kita tidak boleh serakah, kalau sudah banyak dapat rusa, maka harus ditingkatkan “persembahannya” agar tidak menjadi penyakit kepada kita. Persembahan itu, awalnya dari “selensung” atau “ranub” ditingkatkan ke “pepanyi” atau “bendera putih”, lalu lebih tinggi naik ke “awal, bertih,tenaruh.”
Salah seorang pasukan di kawasan Pasir Putih sudah terlalu sering dapat rusa dengan cara memasang jerat tali, tetapi tidak pernah berbagi dan tidak pula meningkatkan “persembahannya”. Akhirnya kakinya lumpuh, sebagaimana rusa-rusa yang kakinya kena jerat.
Kami melanjutkan perjalanan dengan rasa kecewa karena gagal makan rusa. Sekitar satu jam perjalanan kami melihat banyak tumbuhan genjer di bekas kubangan gajah. Sayangnya, di antara kami tidak ada yang faham bagaimana mengolahnya.
Pang Syiah Kuala memetik genjer-genjer muda itu lalu merebusnya sampai mendidih, tetapi tidak juga lembut dan kalau dimakan rasanya seperti gabus. Ia mencoba membuang airnya dan direbusnya lagi. Tetap saja rasanya sama, seperti gabus.
“Barangkali genjer-genjer itu harus direbus dengan garam, baru akan lembut” kata saya kepada Pang Syiah Kuala. Memang, dalam perjalanan itu kami hanya sedikit membawa garam.
Pang Syiah Kuala masih penasaran, lalu membuang airnya dan merebusnya kembali. Setelah mendidih, kami merapat untuk ketiga kakinya, berharap genjer bisa sebagai pengganjal perut yang sudah tiga waktu belum dapat makanan.
Akhirnya kami menyerah, lalu membuang genjer-genjer itu. Kemudian kami meneruskan perjalanan dengan dua kali kecewa; tidak dapat rusa dan genjer tidak mau masak.
Penulis Merupakan Mantan Panglima GAM Wilayah Linge
(Mendale, 26 November 2021)