Oleh: Fauzan Azima
Komposisi jumlah penduduk di Aceh Tengah dan Bener Meriah; Gayo sebagai penduduk terbanyak, posisi terbanyak kedua adalah masyarakat Jawa, disusul Aceh bagian pesisir, selanjutnya masyarakat Padang, berikutnya lalu masyarakat Tionghoa, baru terakhir Karo, Batak dan Sunda.
Bukan bermaksud tidak menghargai kelompok masyarakat lainnya. Sebagai mana kita tahu, masyarakat Tionghoa sudah ada sejak lama di Gayo, akan tetapi keterlibatannya dalam konflik dianggap asing untuk sebuah pergerakan kemerdekaan.
Sehingga secara khusus harus saya sampaikan ucapan “kamsia” kepada saudara-saudara kita yang disebutkan oleh junjungan kita, Nabi Muhammad SAW dengan ungkapan, “Uthlubul ilma walau bisssin”.
Kiranya perlu sedikit penjelasan dari ungkapan Rasulullah itu, dengan membuat kategori dari China atau Thionghoa, yaitu; “berkulit putih” makna tersirat sucikan hati, “bermata sipit” itu tidak memandang yang haram, “dupa” itu melihat rupa diri bukan menilai rupa orang lain, “kaya”, “menghormati nenek moyang”, “reinkernasi”sebagai “ainul hayat” dalam kepercayaan kita.
Selama ini, pemaknaaan “Sin” hanya sebatas kehebatan China dalam meracik obat-obatan, ternyata begitu banyak kategori dan pemaknaan seperti di atas, jadi wajar Nabi Muhammad SAW menyatakan kepada kita untuk “menuntut ilmu sampai ke negeri China.”
Pada masa konflik Aceh, khususnya pada tahun 2001, sempat terjadi konflik antar suku di Gayo, namun berkat kebijaksanaan para pemimpin kita pada masa itu, konflik etnis itu bisa diredam.
Bersyukur, masyarakat Tionghoa sebagai salah satu “entitas” di Gayo, tidak ikut-ikutan dalam konflik berdarah itu.
Setelah difikir-fikir, sikap netral yang benar adalah seperti masyarakat Tionghoa itu. Mereka tidak ada korban nyawa, kecuali korban harta benda itu pasti sebagai salah satu resiko tinggal di daerah konflik.
Sejujurnya GAM Wilayah Linge juga meminta bantuan dana kepada masyarakat Tionghoa lewat beberapa kontraktor kepercayaan Bapak Bupati Tamy, dan sejujurnya pula kami tahu “sedekah” itu banyak diselewengkan untuk kepentingan pribadi. Tidak mengalir kepada pihak yang benar-benar berjuang.
Kami tahu juga, setiap ada peperangan, ada sekelompok orang yang mengaku-ngaku sebagai utusan GAM yang meminta uang dengan alasan untuk perbekalan di Kemp, membeli peluru dan menambah senjata. Padahal para penipu itu hanya memanfaatkan situasi saja.
Kita harus banyak belajar pada masyarakat Tionghoa di Gayo. Awal datang ke “Negeri Malem Dewa” itu, mereka lebih miskin dari orang kebanyakan, tetapi satu yang membuat mereka sukses adalah “amanah”.
Pada tahun 1942, ketika Belanda keluar dari Aceh, mereka menitipkan harta benda mereka, terutama emas kepada orang-orang Tionghoa.
Pada akhir tahun 1960, baru anak cucu orang-orang Belanda itu datang meminta kembali harta Bapak dan kakeknya yang dititipkan kepada orang-orang Tionghoa itu, dan mereka memberikannya sesuai janjinya pada masa lalu.
Dari penjualan emas itu, mereka mendapat pembagian dari orang-orang Belanda itu. Sejak itu pula, orang-orang Tionghoa mampu membeli toko-toko di Kota Takengon.
Kita jangan melihat mereka sekarang; kaya dan hidup enak, tetapi bagaimana sejarah perjalanan mereka yang juga penuh derita. Namun berkat “amanah” mereka bisa sukses, seperti sekarang ini.
Saya meyakini, seperti keyakinan mereka juga, bahwa dari sisi “terlahir” sama hak dan kewajibannya dalam perjalanan “reinkernasi” atau “ainul hayat” terhadap “tanoh Gayo”. Mereka Gayo dalam rupa Tionghoa.
Saya sendiri pada masa konflik berhubungan dengan beberapa tokoh masyarakat Tionghoa untuk memikirkan bersama keadaan perjuangan di Gayo.
Saya tidak bisa melupakan jasa baik mereka, walau pun hanya sebatas menerima telepon. Kalau kami berdiskusi kalau ingin membuat tindakan “blokade” misalnya, mereka memberi saran dan tidak jarang saran mereka kita terima dengan lapang dada.
Demikianlah, masa-masa kelam telah kita lalui bersama. Tidak ada yang lebih penting daripada berbuat baik kepada siapapun dan kapanpun. Kebaikan itu yang menyelamatkan kita di dunia dan akhirat.
Penulis merupakan Eks Panglima GAM Wilayah Linge
(Mendale, 3 Desember 2021)