Oleh: Fauzan Azima
Pada Juli 2005, sebulan menjelang damai RI-GAM, Muallim menghubungi saya via telepon sellular. Panglima GAM itu memberi tugas kepada saya; pertama, supaya saya menghitung ulang jumlah pasukan dan senjata. Kedua, mencari satu orang yang setia dan faham tentang perjuangan Aceh Merdeka untuk diberangkatkan ke Helsinky, Finlandia untuk mendukung dan menyaksikan Penandatangan Perjanjian Damai RI dan GAM.
“Muallim, kamoe mita untuk Wilayah Linge, neutulong tamah sidroe ureung teuk berangkat u Hilsinky” pinta saya kepada Muallim.
“Jatah saboh wilayah sidroe, Fauzan” jawab Muallim.
“Lake meuah Muallim, sigoe goe neubi kamoe keistimewaan bacut” pinta saya kembali.
“Getlah, tapi bagah kirem nan bak ulon” jawab Muallim menyetujui permintaan saya.
“Terimong Gaseh, Muallim!” jawab saya sambil matikan HP.
“Yes!” ucap saya setengah berteriak sambil mengepalkan tangan.
Saya sangat senang dan bangga bisa merekomendasikan kawan-kawan seperjuangan untuk melaksanakan kepentingan tugas negara. Apalagi ke luar negeri, tentu sangat prestise bagi seorang gerilyawan, yang notabene selalu di hutan, ternyata bisa juga ke luar negeri berbaur dengan masyarakat international.
Saya sedang berada di kawasan hutan Buntul Kepies bersama Wapang Jangko Mara, Pang Reje Bedel, Pang Yahya Nakir dan Pang Syaridin Pusaka, ketika Muallim menghubungi saya. Dari nada suaranya, beliau sedang gembira. Itulah kali kedua kami bicara lewat HP sejak kami berpisah pada Desember 2004 di kawasan hutan Krueng Simpur. Sebelumnya, saya bersama Pang Jangko Mara menghubungi beliau terkait dengan surat Wapres Yusuf Kalla untuk beliau.
Namun demikian komunikasi kami tetap lancar, meskipun hanya saling berkirim SMS. Sebenarnya, saya sendiri agak sungkan kalau berbicara dengan Muallim. Kecuali kalau sudah sangat terpaksa. Kalau tidak terlalu darurat, saya minta Pang Reje Bedel, salah seorang pasukan Linge yang akrab dengannya, untuk menanyakan kabar dan perkembangan situasi.
Kami berfikir, Muallim terlalu baik terhadap kami, tetapi kadang kami merasa keterlaluan juga, tidak jarang kami minta fulsa kepada Muallim. Kami sering bertaruh, kalau dalam hitungan sepuluh menit dikirim, maka kami akan berbagi fulsa, sedangkan kalau lebih dari menit, pasukan tidak berhak menuntut untuk berbagi fulsa. Muallim tetap mengirim fulsa dengan jumlah antara 100 ribu sampai dengan 500 ribu.
Perintah Muallim pun segera saya sahuti dengan menghubungi setiap pasukan, baik yang masih ada di Linge (Aceh Tengah dan Bener Meriah), maupun yang masih berada di Wilayah Alas dan Tanah Karo di bawah kendali Tengku Win Kaka.
Setelah menginventarisasi seluruh pasukan, dari seribuan pasukan Linge sebelumnya, ternyata menjelang damai tinggal 102 orang yang masih bergerilya di hutan. Sebagian ada yang menyerah, tertangkap dan ada juga yang keluar dari Aceh. Dalam waktu sehari saya telah mengirim 102 nama-nama pasukan dan jumlah senjata kepada Muallim via SMS.
Satu lagi tugas saya adalah mencari dua orang anggota GAM yang akan dikirim Helsinky, Finlandia.
Saya segera menghubungi Tengku Dawan Gayo yang sedang berada di Jakarta. Beliau adalah kawan saya sejak di Madrasah Ibtidaiyah (Sekolah Dasar). Kami juga sama-sama melanjutkan ke sekolah Madrasah Tsanawiyah (setingkat SMP) di Kota Simpang Tiga dan selalu sekelas. Beliau termasuk anak yang cerdas, humoris, pandai bergaul dan selalu membuat orang senang. Kalau sedang bermain bersama, tidak pas rasanya tanpa Dawan Gayo.
Setelah menanyakan kabar dan perkembangan di luar, saya memohon kepada beliau untuk mewakili GAM Linge untuk berangkat ke Eropa dan beliau mengiakannya. Berarti, saya perlu mencari satu orang lagi.
Saya kesulitan mencari untuk satu orang lagi yang akan menemani Tengku Dawan Gayo. Saya menghubungi banyak orang agar terpenuhi kuota dua orang, tetapi ada yang menolak langsung, ada memberi alasan untuk berfikir dulu, ada pula yang meminta izin dari orang tua. Sementara saya hanya diberi waktu tiga hari untuk mengirimkan nama kepada Muallim.
Saya juga maklum dengan keberatan orang-orang mewakili GAM. Mereka tidak yakin perdamaian Aceh akan terjadi. Kalau terjadi mereka bisa menjadi orang terhormat, sebaliknya kalau tidak jadi perdamaian mereka bisa menjadi DPO Pemerintah Indonesia.
Saya maklum, masyarakat masih trauma dengan darurat militer dan sipil yang tiada hari tanpa kematian dari pihak GAM, TNI/Polri maupun masyarakat.
Padahal tahapan-tahapan perundingan sudah diumumkan lewat media cetak dan elektronik, tetapi tetap saja susah untuk mendapatkan orang yang mau secara suka rela lahir bathin diberangkatkan ke Finlandia. Sementara Muallim sudah akan menyiapkan tiket dan akomodasi bagi utusan GAM Linge:
Setelah sampai waktu yang ditentukan, sayapun akhirnya menghubungi Muallim, cukup satu orang saja yang berangkat. Saya berikan nama dan nomor HP Tengku Dawan Gayo sabagai Refresentatif Wilayah Linge dalam dukungan perundingan Helsinky. Saya jelaskan juga kepada Muallim, saya kesulitan mencari satu orang lagi sebagai pendamping Tengku Dawan Gayo.
“Ka ulon peugah, jatah Linge sidroe. Menyoe ka ulon pegah harus meupateh” kata Muallim sambil tertawa kecil.
“Get Muallim!” jawab saya singkat sedikit kecewa.
Penulis Merupakan Eks Panglima GAM Wilayah Linge
(Mendale, 12 Desember 2021)