Opini  

Rahasia Dibalik Rahasia Sejarah

Oleh: Fauzan Azima

“Kita adalah manusia istimewa dan pilihan” saya membuka pembicaraan di tengah pasukan yang larut dalam keheningan suasana hati masing-masing pada pagi Hari Raya Idul Fitri, 1 Syawal 1425 H, tepatnya 14 November 2004 di Bukit Rebol, Gunung Geureudong.

Seluruh pasukan mendongakkan wajahnya ke arah saya. Mereka berfikir dan menunggu jawaban apa yang saya maksud. Di hutan belantara suara pimpinan selalu di dengar, meskipun kadang kalimatnya asal-asalan.

Sebagai pimpinan pasukan harus pandai-pandai menempatkan diri. Mereka punya latar bekakang berbeda. Bagi yang punya pendidikan tinggi dan dari kalangan berada lebih menyentuh bicara soal kekuasaan dan pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA). Sedangkan untuk pasukan yang lainnya kita harus ingatkan dengan memperdalam ideologi.

Tidak jarang juga, pasukan ada mantan orang yang bermasalah di kampung; pencuri, berhutang, tidak akur dengan tetangga dan narkoba, ya tentu kita harus faham juga untuk menjaga perasaan mereka. Intinya seluruh pasukan harus kompak sebagai satu keluarga.

“Bagaimana tidak istimewa? Kita bersusah payah di hutan. Kadang makan, kadang terpaksa harus berpuasa. Sedangkan orang-orang di kampung dan di kota menikmati makanan bersama keluarga, mereka bebas ke sana ke mari. Namun dari sekian juta penduduk Aceh berapa persen orang seperti kita? Barangkali hanya satu prosen? Itulah keistimewaan kita. Biarlah kita menderita secara fisik, tetapi hati kita merdeka, untuk siapa? Untuk rakyat Aceh kelak” saya menyambung pembicaraan.

Saya perhatikan wajah mereka satu per satu, tampak mulai cerah. Sebagian dengan bersemangat menginisiasi untuk turun kampung mencari bekal makanan. Biasa pada hari lebaran tidak ada operasi TNI/Polri ke kampung-kampung. Kesempatan yang baik untuk bisa makan besar. Apalagi Panglima GAM, Tengku Muzakkir Manaf pun sedang dalam “perlindungan” Pasukan GAM Wilayah Linge.

Begitulah penggalan sejarah yang harus kami alami setidaknya selama lima tahun bergerilya dari bukit ke bukit lainnya, menyusuri lembah dan pematang. Nyawa di ujung tanduk, darah, keringat dan air mata selalu menghiasi kanvas kehidupan kami. Begitulah siksaan “neraka” yang harus kami jalani.

Pun demikian, kurun waktu tertentu kala itu tidak bisa dijadikan penilaian terhadap seseorang. Sekali waktu seseorang memang salah, di waktu lain ia menebus kesalahannya dengan berbuat baik. Melanggengkan kesalahan itulah yang salah.

Maklumat Perang Belanda terhadap Aceh pada tahun 1873 dan menjadikannya bumi Aceh sebagai ladang perang dan pembantaian sebagai satu bentuk “tebus diri” atas kesalahan yang diperbuat “awak geutanyoe”. Demikian sudah perjanjian “roh” yang menghuni tubuh ini dengan Tuhannya.

Begitupun Tentara Belanda yang dikisahkan sebagai pasukan bengis, kejam dan pembunuh bukan serta merta selamat dari “neraka” pada kehidupan selanjutnya.

Semua pragmen kehidupan itu adalah panggung sandiwara yang sudah diskenariokan Allah SWT kepada orang-orang yang dimaksud untuk menjalini hukuman agar mendapatkan kehidupan yang lebih baik atau sebaliknya lebih menderita dari kehidupan hari ini.

Sungguh Allah Maha Adil. Setiap manusia diberikan kesempatan yang sama untuk berbuat baik maupun buruk dan pasti akan mendapatkan ganjaran yang setimpal atas yang perbuatannya.

Penampakannya Allah SWT itu tidak adil, namun sesungguhnya itulah sebenar-benar keadilan bagi manusia. Belahan dunia lain warna kulitnya gelap, kelaparan, ditambah perang melanda. Seolah mereka duduk di atas tungku panas setiap hari. Sehingga mendapati hari yang lamban untuk sampai ke malam, sebaliknya malam melambat untuk bergeser ke siang.

Sedang pada benua lainnya mereka menikmati makan malam sambil tertawa bergembira. Bahkan mereka menentukan “hidup mati” suatu kaum sambil bersantap di meja makan.

Percayalah kezaliman kita; baik sikap, perbuatan dan ucapan terhadap orang lain akan kembali kepada kita dengan datang kezaliman yang lebih besar. Itu sudah menjadi Sunatullah atau karma dalam hidup ini.

Akhirnya lebaran ala grilyawan kami lalui dengan penuh suka cita. Kami bersantap makanan kiriman saudara-saudara kami di kampung. Secercah harapan nikmatnya surga telah kami dapatkan, meskipun hari-hari berikutnya kami harus melewati “neraka” kembali.

Penulis merupakan mantan Panglima GAM Wilayah Linge