Oleh: Fauzan Azima
Aceh sebelum tahun 1920 melaksanakan ilmu kalam, ghaib dan musyahadah dalam satu paket. Tiga ilmu yang terintegrasi itu membuat Aceh tidak bisa dikalahkan, baik dari dalam maupun dari luar. Hanya dengan Ilmu tiga dimensi ini Aceh akan kembali jaya, sebagai mana jayanya nenek moyang dahulu.
Sejak mengagungkan satu elemen ilmu itu, terutama ilmu kalam, dari sanalah Aceh mulai mundur, tidak saja mudah diserang dari luar, tetapi bibit-bibit perpecahan intern semakin menganga. Akibat lanjutnya dengan mudah musuh menaklukannya sebagai wilayah jajahan.
Saya kira bukan saja Aceh pada masa lalu, negara-negara di Timur Tengah sekarang pun hancur lebur karena telah lama meninggalkan bahkan anti terhadap ilmu, khususnya ilmu ghaib dan ilmu musyahadah, yang merupakan kekuatan Arab sejak pimpinan Nabi Muhammad SAW sampai dengan runtuhnya kekhalifahan Turky Usmaniyah.
Aceh sekarang dikenal dan dipandang sebagai negeri syariat Islam, meskipun dalam pelaksanaan hukumnya masih parsial. Penegakan syariatnya hanya sebatas khalwat (non muhrim berdua-duaan di tempat sepi, maisir (judi) dan khamar (minum-minuman keras).
Meskipun demikian menjadi kekhasan Aceh untuk bisa masuk ke hukum-hukum lainnya. Semisal korupsi, mencuri, perkosaan, merampas hak orang lain, menghina, hoax dan lain-lain. Ini merupakan tantangan berat dan hampir mustahil bisa berhasil diwujudkan. Pelaksanaan hukum bagi pelanggar khalwat, maisir dan khamar saja mendapat tantangan dari dalam negeri sendiri, apalagi dari luar.
Di samping pelaksanaan hukum syariah di seluruh Aceh, tetapi ada daerah yang ingin meningkatkan dari sisi pemahaman dan pelaksanaan “tazkiatun nafsi” atau pembersihan jiwa. Seperti Aceh barat yang mencanangkan sebagai daerah Tauhid Tasauf.
Sejak Ahad, 9 Agustus 2020, Bupati Aceh Barat, H. Ramli MS bersama Pimpinan Majelis Pengajian Tauhid Tashawuf Indonesia (MPTT-I), Abuya Syeikh H. Amran Waly Al-Khalidy meresmikan Gapura Tauhid Sufi di Gampong Pasi Pinang Kecamatan Meureubo.
Pada kesempatan itu, H. Ramli. MS dalam sambutannya yang disampaikan di Mesjid Agung Meulaboh mengatakan, berdirinya Gapura Tauhid Sufi di Kabupaten Aceh Barat membuktikan bahwa Tauhid Tashawuf memang sudah berada di hati dan sanubari rakyat Aceh Barat.
Apakah pencanangan Aceh Barat sebagai daerah Tauhid Sufi merupakan jalan kembali kepada “ilmu tiga dimensi”? Kita harus berhusnudzon (berprasangka baik) kepada saudara-saudara kita punya niatan yang baik untuk membangun negeri ini. Kita apresiasi pemerintahan Aceh Barat atas keberaniannya membangun negeri berdasarkan semangat Tauhid-Tashawuf.
Sebagai masukan untuk melengkapi khazanah keilmuan kita bersama bahwa kita tahu kaum shufi yang selalu menjaga hati, di sisi lain iblis juga berusaha bersemayam di sana. Namun ada dua tempat lagi yang harus dijaga juga, yaitu sosof dan jantung, di mana kedua tempat itu juga diperebutkan jin dan syetan.
Iblis yang menguasai hati, syetan yang menguasai jantung dan jin menguasai sosof itulah yang disebut dalam bahasa Aceh “najis” atau “na” beranti ada, serta jis (jin, iblis dan syetan). Jadi hakikat najis adalah adalah jin, iblis dan syetan di dada manusia.
Menguasai hati atau mengekang iblis belum tentu bisa menguasai jantung atau mengekang syetan dan belum tentu juga menguasai sosof dari permainan jin. Oleh karenanya kita perlu senjata yang lebih tinggi, yaitu otak sebagai tempat akal budi yang bisa melumpuhkan iblis, jin dan syetan sekaligus.
Aceh Barat telah berani melabelkan diri sebagai daerah Tauhid-Tashauf, adalah kabupaten lain yang berani menaiklevelkan menjadi “Selamat Datang di Negeri Hakikat”?
Kalau diibaratkan berlayar ke satu pulau maka hakikat adalah pulau yang hendak dituju, sedangkan untuk mencapai kesana kita perlu perahu sebagai syariat dan perlu juga nakhoda sebagai tarekat. Ada kapal, nakhoda dan pulau yang dituju baru bertemu dengan Sang Pemilik Pulau sebagai ma’rifat.
Hakikat kalau diibaratkan kepada jari-jari adalah jari tengah. Jari kelingking sebagai syariat, jari manis sebagai tarekat (masih terikat karenanya cincin perkawinan atau tunangan disematkan pada jari manis), jari telunjuk sebagai ma’rifat (mari merapat) dan setelah empat jari digenggamkan, tinggal ibu jari, maka menjadi “cap jempol” atau oke. Kalau ada “ibu jari,” pasti ada ada “bapak jari” di manakah dia?
Andai suatu daerah sudah ditetapkan sebagai “negeri hakikat” maka seluruh perangkat pemerintahannya juga harus ahli hakikat. Forkopimda juga diisi oleh orang-orang hakikat. Kalau terjadi pelanggaran hukum, maka dia harus dihukum dengan hukuman hakikat. Seorang pencuri misalnya, hukumannya harus diputuskan oleh hakim ahli hakikat.
Sulit memang mencapai “maqom hakikat” secara pribadi, apalagi menjadikannya sabagai satu sistem dalam pemerintahan yang merupakan kumpulan orang dalam satu daerah. Sekali lagi berat dan sangat berat karena kita sudah tidak mengenal dan tidak tahu diri lagi.
Bukan saja berat mencapai “level hakikat” tetapi lebih sulit lagi mensosialisasikannya. Oleh karena itu harus disampaikan dengan “strategi budaya”. Sejarah membuktikan, banyak ahli hakikat yang menjadi korban pembunuhan. Shaikh Hamzah Fansury dengan “Wahdatul Wujudnya”, Mansur Al-Halajj dengan “Anal Haqnya” dan Shaikh Siti Jenar “Manunggaling Kawula Gustinya,” mereka semuanya dibunuh karena dianggap sesat.
Sunan Muria (ada yang menyebut dirinya juga Tengku Bener Meria) menyampaikan dakwahnya dengan maksud yang sama dengan para “Sheikh pendahulunya,” yaitu dengan tradisi “alat musik rebana” yang bagi menabuhnya secara “tersembunyi” mengucapkan kalimat “Rabb ana”.
Keadaan kita sekarang, seperti tiga telur yang diberi tanda dengan angka satu, dua dan tiga. Lalu pecahkan dan aduk-aduk sampai semuanya menjadi satu. Selanjutnya jelas kita tidak tahu lagi, mana telor satu, dua dan tiga? Begitulah sulitnya mengurai hakikat. Jadi dipastikan sulit mewujudkan, “Selamat Datang di Negeri Hakikat.”
Penulis merupakan Mantan Panglima GAM Wilayah Linge