Oleh: Usman Lamreung
Aceh pasca rehabilitasi dan rekontruksi NAD-Nias dan damai, sudah menjalani tiga fase pergantian kekuasaan baik di tingkat Propinsi maupun Kabupaten/Kota, dengan sistem demokrasi yakni melalui Pemilihan Kepela Daerah (Pilkada) secara langsung.
Fase pertama, kekuatan politik Aceh sepenuhnya dikuasai oleh eks kombatan GAM, saat itu dari tingkat propinsi hingga Kabupaten/kota hampir 70 persen dikuasai eks GAM, baik di parlemen dan eksekutif.
Pasca Damai Aceh dipimpin Irwandi Yusuf Didampingi Muhammad Nazar, kaloborasi sang propaganda eks GAM dan mantan Presidium Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) juga bagian dari aliansi pergerakan berafiliasi dengan para Kombatan dan sepenuhnya mendapat dukungan semua lapisan masyarakat Aceh, menjadi harapan baru Aceh untuk bangkit dari keterpurukan akibat konflik berkepanjangan dan dari terjangan musibah tsunami.
Bebagai program dicetuskan saat itu yaitu mengatasi kemiskinan penciptaan lapangan kerja, pendidikan, program beasiswa dan kesehatan. Salah satu program bidang kesehatan yang bermanfaat bagi seluruh rakyat Aceh, yang selanjutnya menjadi rujukan program pemerintah pusat adalah Jaringan Kesehatan Aceh (JKA).
Saat itu keduanya mendapat dukungan penuh dari Pemerintah pusat, Aceh masih sangat kuat bargaining politik, namun sayang, Aceh belum mampu fokus pembangunan sosial ekonomi masyarakat, terbukti kemiskinan tetap menjadi prestasi paling miskin di Sumatera.
Selanjutnya pada fase kedua, perebutan kekuasaan terjadi di tubuh eks GAM sendiri, perbedaan politik dan perpecahan internal eks GAM dirasakan diawal Pilkada tahun 2006, yang saat itu, terjadi perpecahan dalam penentuan calon Gubernur/Wakil Gubernur melalui jalur Indenpenden. Perpecahan internal GAM berlanjut saat berakhirnya kekuasaan Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar, saat itu Eks elit GAM merestui kandidat Pilkada 2012 Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf, yang akhirnya dua pasangan eks kombatan GAM saling berebut kekuasaan pada pilkada 2012.
Saat itu eks GAM masih saja dipercaya rakyat Aceh untuk menjadi Gubernur Aceh, hal ini terbukti rakyat masih setia memilih kader-kader Partai Aceh (Eks GAM) termasuk Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf. Banyak program dicetuskan pada periode pemerintahan mereka, seperti renovasi Masjid Raya, Flyover Simpang Surabaya Aceh, bidang kesehatan, pendidikan, dan membangun komunikasi politik dengan pusat mendorong mempercepat realisasi berbagai kesepakatan MOU Helsinki. Biarpun kekuasaan mereka sepenuhnya mendapat dukungan parlemen, namun masalah kemiskinan masih saja menjadi indikator masalah dalam pembangunan Aceh.
Selanjutnya Aceh pada fase ketiga, Pilkada 2017, pasangan Irwandi Yusuf dan Nova Iriansyah keluar sebagai pemenang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), biarpun saat itu dinamika politik pasca Pilkada sedikit meningkat, saat itu Muzakir Manaf mengklaim juga sebagai pemenang Pilkada, namun adanya konsolidasi Mualem dengan Irwandi Yusuf, dinamika politik awalnya sedikit memanas, turun dan mengakui kemenangan pasangan Irwandi Yusuf dan Nova Iriansyah.
Namun pada fase ketiga ini dan sedang terjadi, dipenuhi hiruk pikuk politik, dan dinamika elit sangat tajam. Saat Irwandi Yusuf kenak Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan dinyatakan bersalah setelah vonis pengadilan, pemerintah pusat menunjuk Nova Iriansyah sebagai Plt dan pada akhirnya menjadi Gubernur Aceh definitif.
Aceh dibawah pemerintahan Gubernur Nova Iriansyah Hubungan eksekutif dan legislatif tidak harmonis, sehingga menimbulkan berbagai kegaduhan politik, terkesan sepertinya diciptakan, agar memudakan dan memuluskan berbagai program dalam anggaran APBA. Kegaduhan politik eksekutif dan legislatif menyebabkan beberapa kali DPRA melakukan sidang Paripurna menolak Program Multiyear, mosi tidak percaya pada Gubernur dengan Intepelasi, menolak Laporan Pertangungjawaban Gubernur, masalah Recofusing dana Covid-19 tidak melibatkan DPRA dan lainnya.
Begitu juga berbagai program Aceh Hebat tidak berjalan mulus, seperti pembangunan rumah dhuafa tak kunjung dilakukan, Program Kapal Aceh Hebat sedang dalam penyelidikan KPK, pengelolaan dana Covid-19 tidak transparan, membengkaknya silpa, Investasi mendek alias tidak jalan, penanganan Covid-19 tidak terintegrasi, sehingga semua sektor jalan sendiri-sendiri, banyak anggaran tidak tepat sasaran salah satunya isu kode anggraan “apendik”, dan termasuk dugaan proses tender alias dugaan kong-kalikong.
Begitu juga berbagai program besar lainnya seperti, Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Arun tidak jalan, Kawasan Industri Aceh (KIA) Ladong yang sudah menjadi besi tua, Investasi dan investor yang sudah banyak menghabiskan anggaran, seperti berkunjung berbagai negara, yaitu Cina, India, Jepang, Belanda dan lainnya, namun tidak ada hasil apapun, biarpun sudah miliyaran anggaran di habiskan.
Belum lagi kegagalan pemerintahan Gubernur Aceh Nova Iriansyah dalam membangun komunikasi politik dengan pemerintah pusat. Hari ini Aceh tidak ada lagi posisi bagining dengan pemerintah pusat, salah satu bukti adalah tidak terlaksananya Pilkada tahun 2022. Lemahnya komunikasi dan pengaruh politik pemerintah Aceh dengan pemerintah pusat, menyebabkan, posisi Aceh sebagai daerah kekhususan bisa saja terguras dengan aturan pemerintah pusat. Nilai tawar Aceh hilang dimata pemeritah pusat, sehingga kekhususan Aceh bisa saja kembali pada sejarah.
Aceh dibawah pemerintahan Gubernur Aceh Nova Iriansyah, sepertinya pada posisi terpuruk, dibanding dua fase sebelumnya. Dari pemborosan anggaran, lemahnya bergaining dengan pemerintah pusat, tata kelola pemerintahan amburadul, banyak temuan audit BPK akibat berbagai ketimpangan anggaran, isu korupsi, dan yang lebih parah lagi adalah hari ini Aceh kehilangan identitas, hampar dan datar.
Aceh hari ini, tata kelola pemerintahan dari propinsi hingga kab/kota, dalam pengelolaan anggaran tidak ada satupun yang bersih dari temuan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), tata kelola pemerintahan semakin terpuruk, kelam, dan terseok-seok.
Dari berbagai masalah diatas dan dinamika politik elit Aceh, sepertinya Aceh terus akan terseok-seok dalam lingkaran masalah yang sama, yaitu bermain dengan anggaran, artinya berbagai program dan anggaran yang dicetuskan lebih pada blue print managemen konflik. Bukan bagaimana membangun Aceh dengan Geo politik dan Geo strategis.
Artinya posisi Aceh adalah pintu masuk utama dalam perdagangan internasional, seharusnya Aceh mampu memainkan peran secara Gio-Strategis dan Gio-Politik, dalam semua sektor potensi sumberdaya alam baik yang ada di laut maupun di darat.
Maka sudah sepatutnya Aceh masa depan harus segera dirumuskan satu blue print baru pembangunan Aceh baru, yang strategis dengan mempertimbangkan aspek politik, karena Aceh adalah gerbang perdagangan internasional, momentum kedepan harus mampu dimainkan oleh Aceh.
Penulis merupakan Akademisi Universitas Abulyatama dan mantan pekerja BRR Aceh-Nias