LINTAS NASIONAL – BANDA ACEH, Isu mengenai bendera daerah Aceh kembali jadi perbincangan menjelang peringatan 15 tahun nota kesepahaman antara RI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) 15 Agustus ini. Lagi-lagi, muncul wacana jika bukan hiruk soal status dan kedudukannya.
Juru Bicara Dewan Pimpinan Pusat (DPA) Partai Aceh (PA), Muhammad Saleh, menegaskan bahwa Pemerintah RI tidak memiliki alasan sama sekali untuk melarang pengibaran bendera daerah di Aceh, terutama dalam menyambut hari peringatan ke-15 Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki ini.
Pun begitu, status dan kedudukan bendera daerah di Aceh sah dengan lahirnya Qanun Aceh No. 3 Tahun 2013 tentang bendera dan lambang Aceh, di mana DPR Aceh mengetuk palu qanun tersebut dalam Sidang Paripurna ke-II, Jumat (22/03/2013). Pemerintahan Zaini Abdullah pada masa itu juga telah menempatkannya dalam lembaran daerah.
“Selain itu, sesuai amanah pasal 18B ayat 1 UUD 1945, memberikan legitimasi terhadap Qanun 03/2013, sebab merupakan hasil kesepakatan Pemerintah RI dengan GAM,” terang dia, dalam siaran resmi kepada sejumlah media beberapa waktu lalu.
Jelas Saleh, Qanun 03/2013 berlaku secara yuridis karena ia memiliki konsekuensi yuridis dan Pemerintah Aceh berhak untuk menindaklanjutinya. Adapun keberadaan qanun tersebut merupakan akibat hukum dari pasal 246 dan 247 UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh.
Kedua pasal, di antaranya menjelaskan tentang keberadaan bendera daerah selain Merah Putih dan wewenang yang negara berikan kepada pemerintah setempat untuk menetapkan lambang sebagai simbol keistimewaan dan kekhususan.
Sebagai informasi, Menteri Dalam Negeri, Thahjo Kumolo, pada 2016 mengeluarkan keputusan No. 188.34 — 4791, yang isinya membatalkan beberapa ketentuan yang terdapat di dalam qanun 03/2013. Pembatalan ini ia lakukan karena terdapat pasal yang tidak selaras dengan aturan perundang-undangan, misal, desain dan logo bendera yang tidak boleh sama secara pokok dan keseluruhan dengan milik separatis dalam wilayah NKRI.
Aturan tersebut tertera dalam PP No. 77 Tahun 2007, tentang Lambang Daerah, pasal 6, ayat 4. Namun, bagi Saleh ketentuan tersebut mengandung ironi juga ahistoris, misal, ketika menafsirkan Bulan Bintang yang digadang-gadang sebagai bendera daerah Aceh sebagai lambang organisasi separatis.
“Bila merujuk pada tahapan dan proses pembentukan Qanun Bendera dan Lambang Aceh, DPR Aceh tidak hanya diisi Partai Lokal tapi juga Partai Nasional. Jadi, apalagi yang jadi masalah sehingga Bendera Aceh tak boleh dikibarkan?” tanya dia.
Dia berharap Pemerintah RI tidak melulu melakukan penyelarasan, harmonisasi, dan sinkronisasi aturan dan pembentukan peraturan perundangan-undangan saja. Di balik itu, ada niat luhur perdamaian sebagai pijakan sosial, politik, dan hukum, yang mesti negara selaraskan juga.
“Apakah ada jaminan, jika 15 Agustus ini dan seterusnya Bendera Aceh tidak berkibar? Kedua, apakah bila berkibar, Aceh tidak lagi berada dalam wilayah Indonesia? Dan ketiga, apakah bila berkibar setelah MoU Helsinki, Aceh akan merdeka? Jadi, tak perlu sindrom secara berlebihan,” ketus dia.
“Karena itu, kami menyerahkan sepenuhnya kepada rakyat Aceh untuk memutuskan dan mengibarkan Bendera Aceh tanggal 15 Agustus 2020,” tambahnya.
Seperti Tak Ada yang Lain Saja
Sebaliknya, sosiolog dan pemerhati adat, Affan Ramli malah menilai perdamaian di Aceh telah kehilangan nilai. Dari tiga nilai utama yang partisan kejar sewaktu menandatangani nota damai dengan RI, yang cenderung muncul sebagai wacana eminen melulu soal kebebasan aktualisasi keacehan.
Dua nilai yang cenderung tersisih dari koar-koar para elite partai lokal adalah keadilan ekonomi dan pengelolaan sumber daya alam serta kedaulatan mengurus perkara domestik. Padahal, keduanya tak kalah elementer dari sekadar goak-goak soal identitas.
“Dari tiga nilai utama damai Aceh ini, semua menguap begitu saja. Yang masih diperjuangkan cuma soal kebebasan aktualisasi identitas keacehan, itu pun disempitkan sekali dalam urusan bendera. Apakah Aceh enggak punya peradaban lain yang ingin ditonjolkan selain bendera?” dia seperti dikitip dari Liputan6.com pada Sabtu 15 Agustus 2020.
Dia melanjutkan, selain bendera daerah, Aceh sebenarnya memiliki identitas kebudayaan lain yang patut orang-orang banggakan. Seperti, adat mengelola harta publik sesuai ekonomi Islam secara substansial.
Sebagai info, Aceh telah memiliki perda sendiri dalam membangun ekonomi Islam melalui corak perbankan yang sewarna dengan syariat. Aturan mengenainya ada dalam Qanun Aceh No. 11 Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah (LKS).
“Kebijakan qanun syariat sudah bergerak sedikit lebih maju ke lembaga keuangan syariat, dan dua hari terakhir ini sedang dipolemikkan. Banyak pihak yang tetap menginginkan warisan kolonial lembaga keuangan kapitalistik ribawi,” ujar Affan.
Namun, tidak terlihat riak sama sekali dari elite politik partai lokal terkait isu tersebut. Affan menyayangkan hal-hal seperti ini malah menjadi sesuatu yang remeh-cemeh, padahal, ia juga bicara tentang identitas keacehan yang mengatur tentang distribusi kekayaan, kesejahteraan atau keadilan ekonomi.
Dia pun turut menyinggung tentang keadilan ekonomi yang menjadi salah satu target elementer para elite GAM di awal-awal nota damai dulu. Affan sangsi hal tersebut bisa terwujud.
“Bagaimana bisa diwujudkan? Setelah ratusan triliun uang dikelola, Aceh masih provinsi termiskin di Sumatra. Lebih parah lagi, kesenjangan ekonomi di dalam Aceh sendiri antara kota dan gampong, antara kelas menengah dan elite dengan kelas bawah rakyat jelata,” ketusnya.
Sebagai informasi, euforia peringatan nota damai 15 Agustus ini sempat ingin Pemerintah Aceh peringati dengan cara menggelar tur motor gede (moge) melewati rute timur dan utara wilayah Aceh selama 12-14 Agustus. Jumlah anggaran tur sebanyak Rp305.663.796, bersumber dari dana refocusing APBA.
Namun, banyaknya kritikan dari publik membuat rencana tur bersama Ikatan Motor Besar Indonesia (IMBI) itu batal. Andai saja tidak batal, kegiatan yang nirmanfaat itu malah jadi salah satu cara dalam mempertontonkan kesenjangan ekonomi di Aceh, demikian Affan (Red)