LINTAS NASIONAL – BANDA ACEH, Suatu sore di bumi Serambi Mekah, Komandan Korem (Danrem) Lilawangsa Kolonel Syafnil Armen mendapat informasi dari bawahannya. Informasi yang sudah lama ditunggu-tunggu itu menyebut seorang ulama kenamaan dari Beutong Ateuh, Aceh Barat, diduga menguasai benda-benda berbahaya.
Teungku Bantaqiah, nama sang ulama, dicurigai menyimpan ratusan pucuk senjata api. Dugaan lain menyebutkan senjata-senjata itu ditanam di sekitar pesantrennya Desa Blang Meurandeh, Kecamatan Beutong Ateuh di Kabupaten Nagan Raya, Aceh sinonim dengan kata indah.
Letak daerah yang berada di tengah lembah dan juga diapit oleh banyak hutan membuat pemandangan Beutong sebagai salah satu lanskap yang indah di Indonesia. Namun, hal itu justru berkebalikan dengan sejarah yang pernah terjadi disana pada 21 tahun silam.
Tanggal 23 Juli 1999, di Beutong Ateuh, terjadi salah satu peristiwa paling mengerikan dan juga merupakan satu dari sekian banyak pembantaian selama operasi militer yang dilaksanakan di Aceh, yakni Peristiwa Beutong Ateuh atau juga dikenal sebagai Peristiwa Tengku Bantaqiah.
Tengku Bantaqiah sendiri adalah seorang alim ulama yang memimpin sebuah pesantren yang terletak di Beutong Ateuh bernama Pesantren Babul Al Nurillah yang dituduh oleh TNI sebagai tempat penyembunyian alat logistik GAM.
Tuduhan ini tidak pernah terbukti, namun ekses dari tuduhan tersebut adalah pembantaian terhadap warga sipil yang merupakan jamaah pesantren dan juga Tengku Bantaqiah sendiri yang dilakukan oleh personel TNI yang berada di bawah kendali operasi (BKO) Korem 011/Liliwangsa yang terdiri dari pasukan Yonif 131 dan 133 dengan didukung satu pleton pasukan dari Batalyon 328 Kostrad. Dalam peristiwa tersebut tercatat 56 orang tewas dan hilang selama proses kekejian tersebut. Selain itu, ratusan orang trauma atas perisitwa tersebut.
Berdasarkan perintah Danrem, dibentuklah pasukan gabungan beranggotakan 215 personel di bawah pimpinan Letnan Kolonel Heronimus Guru dan Letnan Kolonel Sudjono sebagai pengawas operasi. Kecuali Danrem dan pimpinan pasukan gabungan, tak seorang pun menyangka bahwa telegram itu akan membawa malapetaka.
dikutip dari tirto.id Pada 22 Juli 1999, pasukan gabungan tiba di Beutong Ateuh. Mereka mendirikan tenda-tenda persiapan untuk melakukan penyerbuan. Warga sekitar menyaksikan kedatangan pasukan dengan perasaan cemas. Mereka tidak tahu mengapa tentara datang tiba-tiba dan dalam jumlah yang sangat banyak. Tapi pengalaman selama masa Daerah Operasi Militer (DOM) telah mengasah insting mereka: sesuatu akan terjadi.
Esoknya, 23 Juli 1999, sekitar pukul 11.00 WIB, pasukan bersenjata lengkap mulai memasuki pesantren. Sebagian dari mereka menutupi wajah dengan cat hitam dan hijau.
Di dalam kompleks pesantren, beberapa pasukan melakukan psy-war: meneriakkan nama Bantaqiah dengan hujatan dan cacian. Bantaqiah dan ratusan santri yang tengah mengaji mendadak tegang. Tak lama kemudian, Bantaqiah bersama seorang muridnya turun menemui mereka.
Setelah bertemu Bantaqiah dan menyampaikan urusan mereka, Sudjono mengontak Heronimus lewat radio soal tindakan yang harus dilakukan. Heronimus tak kunjung menjawab. Sudjono pun meninggalkan lokasi.
Pasukan yang meradang itu menggeledah pesantren dan dengan kasar meminta memerintahkan semua santri laki-laki dewasa turun serta berkumpul di halaman pesantren dalam posisi jongkok sambil memperlihatkan KTP. Mereka disuruh melucuti pakaian, kecuali celana dalam. Bersamaan dengan penggeledahan tersebut, tim yang dipimpin Sudjono datang lagi ke lokasi.
Laporan Pantau menyebut, Sudjono memaksa Bantaqiah menyerahkan semua bedil yang diduga ia simpan. Bantaqiah membantah. Ia merasa tak pernah memiliki sepucuk pun senjata seperti yang dituduhkan. Tak puas dengan pengakuan Bantaqiah dan tetap memaksa, pasukan pun kehilangan kesabaran.
Di tengah-tengah situasi menegangkan, Sudjono mempersoalkan sebuah antena radio pemancar yang terpasang pada atap pesantren. Ia menyuruh Usman, salah satu putra Bantaqiah, untuk mencopotnya.
Setelah itu, kekejian perlahan-lahan mulai menampakkan wujudnya.
Usman berjalan menuju rumah untuk mengambil peralatan agar lebih mudah membongkar antena. Namun sebelum ia mencapai rumah yang jaraknya hanya 7 meter dari tempat berkumpul, seorang pasukan memukulnya dengan senjata api. Menyaksikan putranya disakiti, Bantaqiah pun berusaha mendekati dan memeluknya.
Bersamaan dengan mendekatnya Bantaqiah ke arah Usman, pasukan mengumandangkan aba-aba menembak. Detik itu juga, Teungku Bantaqiah, ulama yang begitu dihormati di seantero Aceh Barat, jatuh tersungkur bersimbah darah. Ia tewas seketika. Pasukan kemudian mengeluarkan tembakan beruntun dan membabi buta ke arah kumpulan santri. Tak sampai satu menit, 34 santri menyusul sang guru.
Setelah berondongan tembakan berulang-ulang itu, pasukan mengumpulkan santri yang masih hidup untuk dibariskan. Dengan dalih membawa mereka berobat, santri yang mengalami luka diangkut, bahkan santri yang sama sekali tidak terluka juga ikut dibawa. Semuanya berjumlah 23 orang. Mereka dinaikkan truk untuk dibawa menuju Takengon. Hanya beberapa orang saja yang sengaja ditinggalkan.
Di tengah perjalanan, tepat di kilometer 7, dua puluh tiga santri itu diturunkan dan diperintahkan berjongkok persis pada bibir sebuah jurang. Di situlah mereka juga ditembaki secara membabi buta.
Pelaku-pelaku dalam peristiwa ini telah diadili melalui mekanisme Pengadilan koneksitas pada tahun 2000 silam. Namun mekanisme pengadilan ini tidak sama sekali memenuhi standar-standar penyelesaian kasus yang berkeadilan untuk korban dan juga penghukuman terhadap pelaku.
Hal ini tercermin dari masih belum terpenuhinya rehabilitasi, restitusi dan kompensasi kepada korban dan juga pengungkapan kebenaran terhadap peristiwa tersebut. Disamping itu, dalam proses pengadilan koneksitas hanya prajurit-prajurit TNI berpangkat rendah yang diadili tanpa menyentuh rantai komando yang memberikan instruksi komando. (Red)