
LINTAS NASIONAL – BANDA ACEH, Pembatalan MoU atau nota kesepakatan antara Pemerintah Aceh selaku eksekutif dengan DPR Aceh selaku legislatif terhadap 12 paket proyek Multiyears (proyek tahun jamak) yang dilakukan oleh pihak DPRA melalui sidang paripurna sudah tepat dan prosedural.
Pernyataan itu disampaikan oleh Ketua Gerakan Masyarakat Partisipatif (GeMPAR) Aceh Auzir Fahlevi SH dalam rilis yang turut ditandatangani oleh Kabid Keuangan dan Anggaran Publik Fakrillah Daudy S.Sos pada Jumat 24 Juli 2020.
Menurut Auzir, nota kesepakatan proyek Multiyears itu sebenarnya dilakukan oleh Plt Gubernur Aceh Nova Iriansyah bersama dengan empat pimpinan DPRA periode lama 2014-2019 yaitu Ketua DPRA Sulaiman (Partai Aceh) Wakil Ketua DPRA Sulaiman Abda (Golkar) Dalimi (Demokrat) dan Irwan Djohan (NasDem).
“Berdasarkan data yang kami miliki, pada tanggal 2 September 2019 Plt Gubernur Aceh mengirimkan surat kepada Pimpinan DPRA Nomor 602/14465 perihal permohonan Izin penganggaran tahun jamak/multiyears, kemudian DPRA pada tanggal 6 September 2019 menindaklanjutinya ke Komisi IV Bidang Pembangunan lalu Komisi IV DPRA pada tanggal 9 Desember 2019 menyurati kembali pimpinan DPRA dengan Nomor 86/Komisi IV/IX/2019, intinya pihak Komisi IV DPRA pada saat itu menyatakan tidak setuju atas izin pengadaan proyek multiyears tersebut dengan berbagai pertimbangan,” ujar Auzir.
Anehnya, meskipun tidak mendapatkan rekomendasi atau persetujuan dari Komisi IV DPRA, Plt Gubernur Aceh tetap melakukan nota kesepakatan/MoU bersama 4 Pimpinan DPRA pada tanggal 10 September 2019.
“Nota kesepakatan itu akhirnya diteken oleh Plt Gubernur Nova Iriansyah bersama Ketua DPRA Sulaiman beserta 3 Orang Wakil ketua Sulaiman Abda, Dalimi dan Irwan Djohan dengan Nomor 903/1994/MoU/2019, nota kesepakatan itu dilakukan tanpa melalui sidang paripurna DPRA bahkan menjelang habis masa jabatan Pimpinan dan Anggota DPRA periode 2014-2019,” ungkap Auzir
Auzir melanjutkan bahwa satu kewajaran bila saat ini DPRA melakukan penolakan dan membatalkan nota kesepakatan proyek multiyears senilai 2,6 Trilyun tersebut karena dianggap menyalahi tahapan dan prosedur mekanisme penganggaran sesuai ketentuan Permendagri Nomor 21 Tahun 2011 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.
“Dalam Pasal 54A ayat 3 Permendagri itu disebutkan bahwa penganggaran kegiatan tahun jamak/multiyears dilaksanakan berdasarkan persetujuan DPRD yang dituangkan dalam nota kesepakatan bersama antara Kepala Daerah dan DPRD.dalam konteks ini, jika nota kesepakatan telah dibatalkan terhadap kegiatan proyek Multiyears itu maka otomatis pelaksanaannya akan menjadi kendala walau sudah diqanunkan dan telah dievaluasi oleh Kemendagri, ibaratnya seperti orang nikah siri tapi punya buku nikah dari KUA, inilah yang menjadi pangkal permasalahan,” urainya.
Menurut Auzir, DPRA secara hukum memang tidak bisa membatalkan Qanun APBA 2020 yang memuat proyek multiyears kecuali melalui Judicial Review ke Mahkamah Agung apalagi sudah masuk Lembaran Daerah.
Sebenarnya para Pimpinan DPRA periode lama 2014-2019 tidak punya kewenangan untuk meneken nota kesepakatan proyek multiyears jika bukan melalui sidang paripurna seluruh anggota DPRA sesuai Quorum karena kedudukan anggota DPRA bersifat kolektif kolegial.
Sangat disayangkan jika kemudian DPRA dicap menghalangi pembangunan dan membuka isolasi daerah pedalaman lintas Kabupaten/Kota, padahal DPRA menurut pihaknya justeru melakukan penyelamatan uang negara (APBA) dari oknum pejabat dan elit politik yang bermain-main dengan proyek Multiyears tersebut.
“Ada konspirasi besar dan sarat kepentingan dibalik penandatanganan nota kesepakatan proyek Multiyears antara Plt Gubernur dengan beberapa Pimpinan DPRA Periode lama 2014-2019, proyek multiyears itu terkesan dipaksakan dan masuk dalam APBA secara “gelap” dan sikap Plt Gubernur justeru berbanding terbalik saat menunda pelaksanaan rumah Dhuafa dengan proyek multiyears 2,6 Trilyun ini,” jelasnya.
Karena itu GeMPAR mengingatkan agar Plt Gubernur hati-hati karena proyek Multiyears sangat rawan dan riskan secara hukum.
“Itu kembali ke Plt Gubernur, toh posisi eksekutor ada pada dirinya, kami sekedar ingatkan saja, jangan sampai Plt Gubernur malah terseret dalam kasus hukum nantinya, yang jelas kami tetap mendukung pembangunan ruas jalan itu karena kegunaannya untuk masyarakat juga asalkan melalui prosedur yang jelas, bukan asal cipta proyek untuk mengejar keuntungan ekonomis oknum pejabat melalui fee proyek,” tutup Auzir Fahlevi. (Red)