Oleh: Nab Bahany As
Sejak tahun 1959, Aceh menyandang Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Tapi, pemberian Daerah Istimewa untuk Provinsi Aceh dari tahun 1959 itu, tidak ada Undang-Undang Republik Indonesia secara tertulis yg mengatur tentang keistimewaan provinsi Aceh.
Undang-Undang Keistimewaan Provinsi Aceh baru dibuat pada tahun 1999, yaitu Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 Tentang keistimewaan Provinnsi Aceh.
Itu artinya, selama 40 tahun Aceh digantung dalam status Provinsi Daerah Istimewa tanpa Undang-Undang tertulis yang mengaturnya dan selama 40 tahun itu pula Aceh menyebut dirinya daerah istimewa di bidang Agama, Pendidikan, dan Adat Istiadatnya.
Itu kecolongan pertama Aceh “Keunong Peungeut, dari pemberian Daerah Istimewa selama 40 tanpa Undang-Undang tertulis.
Untuk diketahui, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 Tentang Keistimewaan Aceh, yg disahkan tahun 1999 ini, adalah sebuah Undang-Undang hasil inisiatif DPR-RI atas usulan anggota DPR-RI asal Aceh dari Fraksi P3 (PPP) M. Kaoy Syah.
Dalam hal ini, besar sekali jasa Muhammad Kaoy Syah dalam memperjuangkan lahirnya Undang-Undang Nomor 44/1999 Tentang Keistimewaan Daerah Provinsi Aceh. Mungkin juga tak berlebihan, bila dikatakan adanya Undang-Undang tertulis nomor 44/1999 Tentang keistimewaan Aceh adalah hadiah hasil perjuangan PPP untuk Aceh.
Dua tahun setelah keluarnya Undang-Undang Keustimewaan Aceh secara tertulis, yaitu UU 44/1999, Pemerintah Republik Indonesia kembali mengeluarkan sebuah Undang-Undang Kekhususan untuk Aceh, yaitu Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001.
Dengan Undang-Undang Nomor 18/2001 itu, Aceh yg sebelumnya menyandang gelar Provinsi Daerah Istimewa Aceh, menjadi sebutan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).
Pemberian Undang-Undang Kekhususan nomor 18 tahun 2001 oleh Pemerintah Republik Indonesia saat itu, adalah jalan juga bagian dari upaya penyelesaian konflik Aceh, tapi tidak terwujud.
Terus 5 tahun setelah itu, nama Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) kembali berubah menjadi Provinsi Pemerintah Aceh, yg didasarkan pada Undang-Undang 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh (UUPA).
Dengan keluarnya Undang-Undang nomor 11/2006 ini, orang pun tidak lagi menyebutkan Aceh “Provinsi Daerah Istimewa Aceh”, dan orang tidak lagi menyebutkan Aceh “Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam”.
Tak ada lagi sebutan khas untuk Aceh. Sebutan “Provinsi Daerah Istimewa Aceh” hilang. Sebutan “Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam” hilang. Karena dgn UUPA itu semuanya sudah serba Aceh. Provinsi Aceh, Gubernur Aceh.
Dulu, sebutannya Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Atau Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Sebutan itu juga melekat pada Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Aceh, atau Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Sekarang dengan UUPA sebutannya Gubernur Aceh.
Pelan-pelan, Aceh terus digiring dalam status yang sama dengan Provinsi-provinsi lain di Indonesia. Keistimewaan, kekhususan, atau bahkan ke-UUPA-an, akan menjadi sebuah formalitas tanpa makna, ketika pemimin-peminpin Aceh tidak mampu memanfaatkan 3 Undang-Undang yang telah kita sebutkan dalam membangun Aceh ke depan ini.
Penulis merupakan pemerhati Sejarah dan Kebudayaan Aceh