Oleh: Fauzan Azima
Kawan saya, Bardan Sahidi kabarnya telah menjadi politisi. Tampaknya hebat, tetapi menurut saya beliau lebih pantas menjadi penari latar untuk lagu “Dance Monkey”.
Tones and I merilis lagu “Dance Monkey” tidak bermaksud untuk mengiringi monyet menari. Hanya saja dia ingin menyampaikan pesan indahnya pengalaman saat mengagumi seseorang melalui lagu yang cukup menghibur.
Nah, ternyata di sinilah simpulnya; kalau di dalam lagu “Dance Monkey” bagaimana pengalaman saat mengagumi seseorang, berbeda dengan kawan saya Bardan Sahidi, baginya bagaimana mencari sensasi indahnya dikagumi orang.
“Tabiatnya itu sudah menjadi bawaan lahir” kata kawan yang nguping di Rebbe Coffee Shop.
“Masa iya sih?” kata saya memancingnya.
“Kura-kura dalam perahu…hobinya selfi, terutama di daerah bencana, lalu posting ke medsos. Coba saja lihat akun sosmednya” kata kawan itu naik darah.
“Iya juga sih! Tapi mengapa saudara begitu emosi” saya mencoba ingin tahu isi hatinya lebih dalam.
“Kami sekampung! Saya malu dengan tingkah lakunya” katanya dengan nada tinggi.
Lalu dengan fasih kawan itu menjelaskan. Pada hari itu, dalam rapat Bamus, dia dua kali memukul meja. Sebelum dan sesudah datang wartawan. Kawan-kawan legislatif menduga, tidak ada lagi aksi memukul meja olehnya karena sudah memukul meja tadi sebelum datang wartawan. Eh, ternyata dia ulangi lagi.
Sikap seperti itu dalam istilah bahasa Gayo disebut “Terihdi gere ker.”
Tidak sampai di situ, pada hari berikutnya, ketika “pihak seberang” menyampaikan pandangan, dia tidak tenang, mendehem dan batuk-batuk kecil untuk menunjukkan kesan kepada orang-orang di dalam gedung itu, dialah penentang yang paling berat.
“Pas..pas…benar saja, dari gerak dan bahasa tubuhnya, kawan saya itu memang cocok menjadi penari latar lagu Dance Monkey” simpul hati saya setelah mendengar cerita kawan tadi.
Penulis Merupakan Mantan Panglima GAM Wilayah Linge