Opini  

Rindu Karya Seniman Aceh

Oleh: Fauzan Azima

“Hei pelacur Jakarta, naikkan dan kibarkan kutangmu setengah tiang” demikian penggalan puisi kawan seniman, ketika penutupan lokalisasi Kali Jodo, Jakarta Utara oleh Gubernur Ahok pada tahun 2016 lalu.

Puisi tentang pelacur Jakarta dari pandangan etika tidak bermoral, namun dari sudut kepekaan terhadap kenyataan sosial patut diapresiasi.

By the way, soal etika hanya tingkat cara berfikir. Di Paris banyak patung-patung telanjang, kalau dipandang dari sudut kaca mata etika dianggap porno, Sedangkan dari pandangan eksotika atau hakikat adalah keindahan.

KH Syamsul As’ad Arifin tokoh NU dan pendiri Pondok Pesantren Salafiah di Jawa Timur pernah diundang Presiden Soeharto ke Istana Bogor, Jawa Barat. Ketika keluar istana, beliau memandangi patung perempuan telanjang di teras pintu utama. Para ajudan merasa tidak enak hati. Takut Sang Kiayi marah.

“Puihh! jadi ketok manine (supaya ada maninya)” tiba-tiba Sang Kiayi meludah tepat pada kemaluan patung telanjang itu dan mereka pun berlalu sambil tertawa lepas.

“Siapa kita, dibandingkan KH Samsul As’ad Arifin?” kata para ajudan yang terdiri dari para Kiayi muda yang masih kental bicara soal etika. Padahal etika juga punya tingkatan lanjutannya; estetika, eksotika dan isoterik, yang kalau mau disetarakan sama dengan tarikat, hakikat dan ma’rifat.

Saya tidak hendak membahas etika terlalu jauh kalau itu yang menjadi hambatan para seniman kita untuk berkarya di negeri syariah ini. Kalaupun itu masalahnya, bukankah karya seni itu akan lebih berkualitas jika digarap dalam suasana penuh tekanan.

Itu hanya asumsi di tengah-tengah sepinya karya seniman Aceh akhir-akhir ini. Faktanya, saya tidak pernah mendengar dan melihat karya seni tentang realitas sosial dan realitas alam di Aceh. Kami rindu karya seniman Aceh, walaupun hanya sebatas kritik sosial.

Suara seniman seperti tenggelam di telan bumi. Tidak ada karya-karya seni yang lahir, padahal kenyataan sosial dan alam silih berganti mewarnai kehidupan kita sehari-hari. Bahkan untuk covid-19 yang sudah menjadi pandemi internasional belum ada karya seni Aceh menggambarkan tentang itu.

Dalam suasana Aceh yang rasa khawatir dengan penambahan jumlah korban yang relatif banyak terpapar corona, kita berharap peran seniman penting sebagai pelipur lara bagi korban, keluarga dan masyarakat umum, yang bisa jadi menjadi stategi kebudayaan pencegahan penyebaran Covid-19.

Benar bahwa sebagian besar seniman Aceh telah tergoda dengan politik praktis dan itu sah-sah saja, tetapi seniman juga harus keluar dari sangkarnya ketika berbicara dan berkarya tentang sesuatu yang universal; HAM, hak-hak buruh, lingkungan hidup, pelestarian hutan, moratorium tambang, ketidakadilan, kezaliman dan bahkan pandemi Covid-19.

Begitu gersang negeri ini tanpa peran serta seniman. Bahkan pembangunan sarana prasarana fasilitas sosial dan fasilitas umum tanpa keterlibatan tangan-tangan dingin seniman akan terasa hambar. Bukankah hidup ini tidak hanya sekedar untuk mencapai tujuan, tetapi juga mengukir keindahan dalam setiap jengkal perjalanan itu.

Penulis Merupakan Mantan Panglima GAM Wilayah Linge (Mendale, Jum’at, 17 Juli 2020)