Oleh: Fauzan Azima
UUPA Tahun 2006 sebagai turunan MoU Helsinky menyatakan hanya tujuh kewenangan pusat; pertahanan, keamanan, pengadilan, pendidikan, fiskal, agama dan hubungan luar negeri, namun selanjutnya setiap pasal-pasalnya berseliweran kata standar, prosedur dan norma. Itu artinya hampir seluruh kewenangan kembali kepada Pemerintah Pusat.
Dalam kitab undang-undang berpemerintahan di Aceh itu, apabila terjadi persoalan di dalam negeri, maka hirarkinya; kepala desa apabila ada masalah di kampungnya dan tidak selesai maka mereka naik kepada camat. Tidak selesai juga maka camat menhadap kepada bupati. Masalah masih belum selesai juga maka bupati membawanya kepada gubernur. Ternyata masih belum putus juga maka gubernur membawanya kepada presiden.
Bagaimana dengan hubungan luar negeri? Prosedurnya awalnya sama, tetapi karena urusan luar negeri menjadi kewenangan pusat, maka pemerintah menyerahkan kepada Deplu RI, kemudian mereka menghubungi KBRI atau Konjen RI yang berada di luar negeri.
Apabila nelayan asal Aceh yang tertangkap di luar negeri, maka negara yang menangkap nelayan itu akan menghubungi KBRI atau Konjen RI, kemudian mereka akan menyampaikan laporan kepada Kemenlu RI di Jakarta, seterusnya menyampaikan masalah nelayan itu kepada gubernur Aceh.
Gubernur Aceh berhak meminta kebebasan atau keringanan hukuman bagi para nelayan Aceh itu melalui Kemenlu RI, tentu bukan kepada negara yang menangkap nelayan itu. Atas permohonan Pemerintah Aceh itu, kemudian Kemenlu RI melalui KBRI atau Konjen RI melakukan lobi-lobi agar nelayan warga Aceh dibebaskan atau dikurangi hukumannya.
Kalau selama ini ada orang-orang yang senang selfi dengan para nelayan yang dibebaskan bukan berarti mereka yang mengurus dari awal baru nelayan itu dibebaskan. Semua itu adalah proses yang lama dan berjenjang dari upaya pemerintahan Aceh.
Saya kira orang kita tahu soal prosedur itu, tapi entah pura-pura bodoh atau memang bodoh beneran.
Pihak yang meributkan soal sembako untuk warga Aceh Malaysia seharusnya mempersoalkan prosedurnya. Boleh atau tidak? Kalau boleh bagaimana caranya? Apakah sembakonya untuk turunan Aceh yang menjadi warga negara Malaysia? Atau untuk TKI yang ada di sana? Sekali lagi untuk siapa? Lalu bagaimana dengan warga Aceh yang ada di negara selain Malaysia?
Oke katakanlah kita mengabaikan seluruh tetek bengek hirarki berpemerintahan, kita bermain di wilayah kasih sayang. Ada niat kita membantu warga kita di luar negeri. Kalau dana pribadi tentu tidak ada masalah, tetapi kalau membantu dengan dana pemerintah, bagaimana pertanggung jawabannya? Apakah berlaku stempel negara Malaysia untuk pertanggung jawaban keuangan di Indonesia. Jangan sampai terperangkap jebakan batman.
Kalau sekedar cuap-cuap, pemerintah ingkar janji. Anak kecil pun bisa, tidak harus duduk di legislatif, tetapi bagaimana berfikir bersama memberikan solusi supaya sembako sampai di negeri tetangga dengan tertib administrasi dan tidak melanggar hukum. Tidak juga mengalihkan perhatian dengan cara-cara murahan untuk menutupi janji kepada rakyat Aceh bahwa tanggal 15 Agustus 2020 bendera bulan bintang akan berkibar di gedung DPRA.
Sebelum terjadi semua kita omong besar, tetapi ketika KPK datang kita semua tiarap. Buktinya ketika BW ditangkap, Kemana orang-orang yang menjual proyek di warung-warung kopi. Seharusnya sesama orang Aceh harus saling menyelamatkan dari sisi hukum agar tidak ada yang masuk penjara. Bukan karena sesuatu yang ilegal lalu tidak wujud, dengan itu lalu membangun kebencian.
Jangan lupa! Aceh belum merdeka. MoU RI-GAM sedikit kuat untuk kewenangan Aceh, tetapi semakin tergerus ketika diemplementasikan dalam UUPA yang menjadi aturan main berpemerintahan di Aceh. Tetapi orang kita sedikit yang faham dan mau berjuang yang terukur untuk menguatkan UUPA. Bahkan yang sudah kuat pun dilemahkan kembali dengan memberikan kewenangan kepada pusat.
Penulis Merupakan Mantan Panglima GAM Wilayah Linge