LINTAS NASIONAL – MEDAN, Sempat dikucilkan karena dianggap provokator, Aminoer Rasyid justru jadi pionir yang mengubah imej negatif kampung kubur. Sebuah perkampungan padat penduduk yang berlokasi di Kelurahan Petisah Tengah, Medan, Sumatra Utara.
Selama puluhan tahun, Kampung Kubur mendapat citra buruk sebagai sarang narkoba. Tudingan itu bukan tanpa alasan. Belasan orang pemuda dari kampung kubur telah meringkuk di balik jeruji karena terseret kasus narkoba. Tak tanggung, 80 persen masyarakat di sana pernah terlibat sebagai pemakai, kurir, penjual hingga bandar narkotika.
“Namun imej buruk sarang narkoba itu muncul sejak tahun 98,” kata Rasyid, 40 tahun, saat diwawancarai via sambungan telepon, Sabtu 28 Mei 2022
Rasyid bercerita dengan bertolak jauh ke masa kecilnya. Ia lahir dan besar di Kampung Kubur. Di masa kecilnya, rumah-rumah penduduk belum begitu sesak. Namun di sana, ketika itu, narkotika jenis ganja banyak beredar.
“Dulu berganja itu dah biasa. Barangnya mudah didapat,” ungkapnya.
Yang unik dari kehidupan masyarakat di sana, kata Rasyid, kuatnya ikatan persaudaraan. Antar sesama warga di sana pada awalnya masih punya pertalian darah. Hingga kemudian, mulai masuk para pendatang dari berbagai etnis yang semakin memperkaya keragaman di sana.
Rasyid mengatakan, narkoba jenis sabu mulai masuk ke Kampung Kubur sekitar 1998, di tengah bangsa kita yang diterpa krisis moneter. Ekonomi masyarakat seret.
“Saat itulah saya mulai berkecimpung jual sabu. Saat itu ‘barangnya’ mahal. Tapi pemakainya gak banyak. Yang megang bisnis sabu ya abang-abang senior,” jelasnya.
Sejak terlibat dalam bisnis sabu-sabu, Rasyid merasakan betapa mudahnya mendapatkan duit besar. Bisnis jual-beli sabu terus marak sampai tahun 2005. Bukan hanya mendapat uang fantastis, Rasyid juga memegang jejaring distribusi sabu di Kampung Kubur. Ia merancang siasat agar licin seperti belut jika sewaktu-waktu digerebek polisi.
Kesuksesannya membangun jejaring distribusi narkotika ia lakukan dengan menjadi Robin Hood. Ia rajin berbagi, membangun citra sebagai dermawan di mata masyarakat. Tak pelak, di 2007 saya dah jadi bandar besar.
“Saya rajin berderma, bagi-bagi rezeki, itu trik agar saya bisa terhindar dari incaran polisi dan diselamatkan warga kalau ketangkap,” imbuhnya.
Rasyid bahkan berafiliasi dengan salah satu ormas. Ia terpilih sebagai ketua ormas itu. Masuknya dia ke dalam ormas semakin memantapkan posisinya sebagai bandar besar. “2007 saya jadi ketua ormas. Anggota kita juga kita libatkan jual narkoba. Semua kita fasilitasi. Tapi muncul rival yang ingin mengusai kampung kubur. Mereka mau memonopoli bisnis narkoba. Saya tidak mau,” jelasnya lagi.
Sang rival, kata Rasyid, datang dengan cara barbar. Bandar yang ingin menguasai Kampung Kubur itu mencoba merusak jejaring distribusi yang susah payah dibangun Rasyid. Langkah pertama yang dilakukan sang rival adalah dengan memasukkan judi jackpot.
Kehadiran judi jackpot menggeser pola aktivitas masyarakat yang awalnya hanya memakai narkoba, kini candu bermain judi.
“Dari situlah awal kehancuran Kampung Kubur. Narkoba marak, judi merajalela. Disitu aku sadar, jangan gara-gara aku makin rusak kampungku ini,” beber Rasyid.
Lelaki yang kerap mengenakan kopiah putih itu mengakui perputaran uang dari transaksi sabu di Kampung Kubur sangat kencang. Angkanya bisa mencapai miliaran dolar perhari. Itu sebabnya, menurut Rasyid, sulit sekali orang terlepas dari bisnis narkoba, karena tawaran gelimang harta.
“Dulu aku mulanya jual ganja. Toke ganja. Barangnya saya jemput langsung dari Aceh. Tapi bisnis sabu jauh lebih menggiurkan,” kata dia.
Kilas Balik
Kehadiran rival yang mencoba merusak bisnis narkobanya, membuat Rasyid memilih “minggat” dari kampungnya. Ia sempat dituding sebagai provokator, sebagai pemecah belah karena seringnya terjadi percekcokan pemuda di sana. Lantaran menyayangi keluarganya, Rasyid memilih pergi dari Kampung Kubur.
Saat jauh dari anak dan istri serta keluarga besarnya, Rasyid mulai menyadari arti kehidupan yang sebenarnya. Ia pernah merasakan gelimang uang, tapi tidak menemukan kebahagiaan. Setiap hari ia hidup dalam bayang-bayang ketakutan. Merasa seperti ada yang mengintainya. Ia sering tidak bisa nyenyak tidur. Ia juga tidak menemukan sahabat sejati yang setia padanya.
“Sejak 2011, aku kan sudah jurnalis. Tapi di 2014 baru benar-benar menggeluti profesi jurnalis. Saya menjauh dari kampung kubur, walaupun semua keluargaku disana. Di situ aku sadar, dah gak benar jalan hidupku ini,” urainya.
Sejak menyadari “jalan gelap” yang ditempuhnya, Rasyid pun bertekad untuk bisa kembali ke kampungnya tetapi dengan tidak sama lagi. Ia benar-benar berhenti dari narkoba. Dan serius menggeluti dunia jurnalistik. Dengan profesinya sebagai jurnalis, ia membangun jaringan pertemanan yang lebih luas. Kemudian ia kembali ke Kampung Kubur pada 2018.
“Aku datang bukan Rasyid yang dulu lagi. Aku datang dengan niat mau membangun kampungku,” ujarnya.
Ia pun diterima kembali dengan baik di Kampung Kubur. Perlahan, ia membangun pendekatan dengan masyarakat di sana. Ia menghimpun masyarakat di sana dalam satu grup WhatsApp (WAG).
WAG itu menjadi sarana mereka berkomunikasi. Di dalam percakapan di WAG itu, peserta grup mengaku juga punya keinginan untuk mengubah imej buruk kampung mereka. Ide itu langsung disambar Rasyid.
Ia kemudian membuat gebrakan.
Langkah pertama yang ia lakukan adalah mencetus Perkumpulan Pemuda Pemudi Kampung Sejahtera (P3KS). Perkumpulan ini kemudian bersepakat membangun kampung dengan menggiatkan kerja bakti dengan cara gotong-royong membersihkan lingkungan. Kerja bakti ini dilakukan setiap hari Minggu pagi.
Aksi gotong royong itu rutin berlangsung dan mendapat respons positif dari warga. Sehingga, warung-warung perjudian termasuk judi jackpot perlahan bertutupan.
“Jelas ada imej negatif yang kami sandang. Kami harus berubah. Aku motivasi mereka dan mereka merespons, gayung bersambut,” katanya.
Selain membersihkan lingkungan, aksi gotong royong disasar untuk “membersihkan” orang-orang yang masih hidup di dunia hitam narkotika dan perjudian. Orang-orang pejudi yang sering begadang sampai pagi, akhirnya tertegur sendiri karena kerap kepergok warga yang bergotong-royong. Laun-laun pejudi-pejudi itu merasa malu jika tidak ikut terlibat bergotong-royong.
“Lama-lama mereka tersentuh dengan aktivitas yang kita lakukan. Tanpa harus kami tegur. Dengan suara nyapu, mereka tertohok,” ungkapnya.
Tidak hanya aksi bersih-bersih lingkungan. P3KS juga menghadirkan aktivitas positif lainnya bagi anak-anak muda. Salah satunya dengan menggiatkan aktivitas fotografi. Dengan mengandalkan jejaring pertemanan di jurnalistik, tidak sulit bagi Rasyid untuk mendatangkan para jurnalis dan fotografer ke sana.
P3KS pun menggandeng Ketua Pewarta Polrestabes Medan untuk menggelar pelatihan fotografi bagi anak-anak dan remaja di sana. Dua tahun lamanya aktivitas belajar motret berlangsung. “Semakin banyak aktivitas positif, imej kemudian berubah. Kegiatan negatif hampir sirna,” terang Rasyid.
Namun, perubahan positif itu menurut Rasyid, tidak terjadi jika perut masyarakat masih kosong. Itu sebanya, P3KS mendorong masyarakat ikut program kampung kuliner. Agar masyarakat bisa bertahan hidup. Potensi masyarakat di sana tak lain adalah berdagang. “Itu makanya kami merencanakan foodcourt agar kelak mereka bisa berjualan. Dipadu dengan wisata sungai,” ungkapnya.
Selain mengupayakan pengembangan ekonomi masyarakat, Rasyid juga mengupayakan agar kegiatan pengajian bagi anak-anak dan remaja di sana terus intens. “Ada juga rencana pendirian bank sampah. Saat ini sedang proses. Harus jadi. Agar kampung kami bersih dan bebas dari sampah,” kata dia.
Rasyid bertekad ingin mewujudkan Kampung Kubur menjadi kampung wisata, kampung kuliner dan kampung mandiri, agar masyarakat di sana tidak lagi terjerumus ke bisnis gelap narkotika.
“Saya ingin generasi ke depan gak seperti saya yang dulu. Mereka harus lebih tangguh, mandiri dan anti terhadap narkotika,” pungkasnya. (AN)