Daerah  

Kebutuhan Meugang di Aceh Ditanggung Negara

Oleh: Nab Bahany As

Seluruh kebutuhan hari meugang di Aceh dulu, terutama bagi fakir miskin, Inong balee (para janda) orang buta, orang lumpuh, orang sakit dan lansia, yang tak bisa lagi bekerja mencari nafkah, semua kebutuhan hari Meugang ditanggung (dibiayai) oleh negara di kerajaan Aceh.

Hal itu disebutkan dalam konstitusi (Undang-undang) negara kerajaan Aceh Darussalam, yg disebut Qanun Al Asyie, atau Qanun Meukuta Alam. Dalam salah satu pasal Qanun tersebut menyebutkan khusus tentang hari Meugang.

Hal itu dapat dilihat dlm Qanun Meukuta Alam yg disyarahkan oleh Tgk. Dimeulek, yang kemudian Qanun Meukuta Alam itu disalin ulang oleh Tgk. Abbas Kuta Karang. Ini mengartikan perkara hari Makmeugang di Aceh bukan perkara sepele, tapi dikonstitusikan dalam undang-undang dasar negara kerajaan Aceh.

Dalam pengertian lebih khusus, negara (Kerajaan) bertanggungjawab terhadap rakyatnya mengenai kebutuhan hari Makmeugang di Aceh. Terutama bagi rakyat yang tidak mampu, atau tidak mampu lagi bekerja mencari nafkah kebutuhan hidupnya.

Apa lagi, bila bulan Cuci Ramadhan, dalam Qanun Meukuta Alam dikatakan Sultan kerajaan Aceh Darussalam, menanggung seluruh kebutuhan hidup selama sebulan penuh pada bulan Ramadhan, bagi rakyat yang tidak mampu sebagaimana telah disebutkan di atas.

Begitu tanggungjawab negara di Aceh kepada rakyatnya, pada setiap hari Nakmeugang. Baik Makmeugang menyambut puasa, maupun menyambut hari raya Idul Fitri dan menyambut hari raya Idul Adha.

Dalam perkembangan beratus Tahun kemudian, rasa kebersamaan orang Aceh terhadap tradisi hari Makmeugang ini, terus dibudayakan. Karena, dalam prinsip kehidupan di Aceh, hari Makmeugang ini adalah hari yg sakral, yang tidak boleh, ada diantara masyarakat Aceh pada hari Makmeugang yang tidak memasak daging di rumahnya masing-masing.

Karenanya, bagi orang-orang kaya dlm kampung di Aceh dulu (Tahun 1970-an) masih terlihat orang-orang kaya di kampung di Aceh, berinisiatif lebih dulu menyembelihkan 1-2 Lembu/Kerbau, untuk dibagi-bagikan secara bertumpuk untuk warga kampungnya.

Bagi warga yang mampu ada yg mengambil satu tumpuk sendiri, ada yang mengambil satu tumpuk berdua semasa warga kampung. Tergantung kemampuan warganya.

Untuk membayar harga daging meugang itu, biasanya setelah panen tahun depan. Dibayarnya dengan padi. Misalnya, satu tumpuk daging meugang itu di hargai 2 naleh pade (40 kg) padi. Begitu habis panen, seluruh warga kampung membayar daging meugang itu kepada orang kaya tadi.

Sehingga, seluruh warga Gampong dalam menghadapi hari Meugang di Aceh, tidak lagi menjadi pikiran soal daging Makmeugang. Karena untuk kebutuhan hari sakral itu sudah ada yang menanggungnya lebih dulu, walau pun mereka harus membayarnya waktu panen sawah tahun depan.

Demikian juga, seorang Keuchik yg memimpin Gampong di Aceh dulu. Pada malam Makmeugang, seorang Keuchik itu harus raun kampung, untuk memastikan apakah setiap warganya sudah punya daging meugang esok pagi atau belum. Kalau kebetulan ada diantara warga Gampong yg belum punya daging meugangnya esok pagi. Keuchik Gampong itu harus menanggungnya, agar warga Gampong itu dapat bermakmeugang.

Demikian pula, antar kerabat dan persabahatan di Aceh dulu. Kerabat yang memiliki kemampuan lebih, selalu menanyakan pada kerabatnya yg dianggap kurang kemampuan secara ekonomi. “Kiban gata, pue kana sie makmeugang singeh?”.

Bila si kerabat itu menjawab, “hana pat ngieng Lom nyoe” (belum ada gambaran dimana ia dapat memperoleh daging meugang besoknya). Maka kerabat itu mengarahkan kerabatnya ini: “Singeh neuteubiet ukeude neumerupok si pulan, nelakee sie 2 kilo, neupugah lon yue”, begitu rasa peduli antar kerabat di Aceh dulu dalam menghadapi hari makmuegang.

Sekarang kita tidak tahu lagi, apakah nilai-nilai sosial semacam itu, dalam menghadapi hari makmeugang masih berlaku dlm masyarakat Aceh, atau sudah buyar dalam gaya hidup yang individualistis.

Penulis Merupakan Seniman dan Budayawan Aceh