Iklan Lintas Nasional
Daerah  

OPI Aceh usul Abuya Muda Waly dan Tgk. Hasan Krueng Kalee Jadi Pahlawan Nasional

LINTAS NASIONAL – BANDA ACEH, Pimpinan Daerah Organisasi Pelajar Islam (PD OPI) Provinsi Aceh mengusulkan agar
Tgk.H. Muhammad Waly Al Khalidy (Abuya Muda Waly) dan Tgk.H. Muhammad Hasan Krueng Kalee dijadikan pahlawan nasional.

“Abu Muda Waly dan Abu Hasan Krueng Kalee merupakan tokoh agama, pendidikan, politik dan pejuang yang sangat berpengaruh dalam upaya memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia, bahkan diterimanya Ir. Soekarno
sebagai pemimpin Indonesia oleh para ulama juga tidak terlepas dari pengaruh Abu Muda Waly dan Abu Hasan Krueng Kalee” ujar Wakil Ketua II PD OPI Aceh, Rozal Nawafil 19 Juli 2020.

“Sejarah mencatat peran dan pengaruh penting Abu Muda Waly dan Abu Hasan Krueng Kalee terhadap eksistensi kemerdekaan Indonesia. Bahkan kiprah kedua Almarhum telah terbukti dan tidak
diragukan lagi dalam upaya pergerakan perjuangan dan pengisi kemerdekaan, Sehingga sudah sewajarnya kita bersama sama mendukung pengusulan Abu Tgk. Muda Waly dan Abu Tgk. Hasan Krueng Kalee sebagai pahlawan nasional dan sudah sepantasnya hal ini direspon oleh pemerintah pusat,” ungkap Rozal Nawafil yang juga merupakan mahasiswa/praja di Institut Pemerintahan Dalam
Negeri (IPDN).

Usulan agar Syaikh Muda Waly dan Syaikh Hasan Krueng Kalee menjadi Pahlawan Nasional sebelumnya juga telah diajukan dalam beberapa forum. Diantaranya, Muzakarah Ulama Sufi Internasional yang diselenggarakan oleh Majelis Pengkajian Tauhid Tasawuf (MPTT) di lapangan
Tugu Darussalam, Banda Aceh pada Jumat 13 Juli 2020 juga telah mengusulkan agar Abuya Syaikh Muda Waly menjadi Pahlawan Nasional. Tgk Mustafa Husen Woyla juga pernah mengungkapkan bahwa Dayah Darul Ihsan pernah memperjuangkan anugerah pahlawan nasional untuk Abuya Syaikh Hasan Krueng Kalee pada masa Presiden Soeharto, namun upaya tersebut terputus dikarenakan pergantian
rezim (reformasi).

Dalam berbagai referensi disebutkan bahwa di masa penjajahan, Abuya Muda Waly dan Abu Hasan Krueng Kalee bersama ulama-ulama Aceh lainnya terus menggelorakan semangat melawan
penjajahan dengan semangat jihad fissabilillah.

Dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan pasca proklamasi kemerdekaan Indonesia, Abu Muda Waly dan Abu Hasan Krueng Kalee serta para ulama-ulama Aceh lainnya juga melakukan jihad untuk membela agama dan kemerdekaan bangsa Indonesia.

Hal itu terbukti pada tanggal 15 Oktober
1945, Abu Hasan Krueng Kalee beserta tiga ulama Aceh lainnya menandatangani deklarasi perjuangan Maklumat Oelama Seloeroeh Atjeh, Pernyataan Jihad yang mewajibkan seluruh rakyat Aceh untuk berjihad membela kemerdekaan Indonesia dan mengusir NICA (Netherlands-Indies Civil Administration) yang hendak menjajah kembali.

Maklumat itu merupakan wujud dukungan ulama Aceh terhadap kemerdekaan Republik Indonesia yang telah diproklamirkan Presiden Soekarno. Inti
muatannya, maklumat berisi keyakinan para ulama yang bernilai fatwa: perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia adalah sama dengan perjuangan suci yang disebut perang sabil (jihad
fisabilillah) meneruskan perjuangan Aceh terdahulu seperti perjuangan Tgk Chik di Tiro dan pahlawan lainnya.

Tak lama setelah keluarnya Maklumat Bersama itu, Pada tanggal 25 Oktober Abu Tgk. Hasan Krueng Kalee mengeluarkan sebuah seruan tersendiri yang sangat penting. Seruan ini ditulis dalam bahasa
Arab kemudian dicetak oleh Markas Daerah PRI (Pemuda Republik Indonesia) dengan surat pengantar yang ditandatangani oleh ketua umumnya Ali Hasjmy tertanggal 8 November 1945 Nomor 116/1945 dan dikirim kepada para pemimpin dan ulama diseluruh Aceh. Setelah seruan penting itu
tersiar luas, maka berdirilah barisan Mujahidin di seluruh Aceh yang kemudian menjadi Mujahidin Devisi Teungku Chik Ditiro.

Adanya maklumat itu berdampak positif bagi pemerintahan RI. Berbagai dukungan fisik dan materil rakyat Aceh untuk membiayai perjuangan Negara Kesatuan Republik Indonesia tak terbendung, sehingga saat kunjungan pertama Presiden Soekarno ke Aceh, Juni 1948, dengan lantang Soekarno
menyatakan bahwa Aceh dan segenap rakyatnya adalah modal pertama bagi kemerdekaan RI.

Rozal Nawafil menjelaskan Organisasi Pelajar Islam (OPI) selaku organisasi serumpun Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI) tidak dapat terpisahkan dari perjuangan Abu Muda Waly dan Abu Hasan
Krueng Kalee. PERTI didirikan di Sumatera Barat pada 5 Mei 1928, berkembang di Aceh sejak tahun 1940-an. Abuya Muda Waly merupakan tokoh pertama yang memperkenalkan PERTI di Aceh. “Abu
Tgk. H. M. Hasan Krueng Kalee, Abuya Tgk. H. M. Muda Waly Al Khalidy, Tgk. H. Nyak Diwan, Tgk. H. M. Saleh Aron, dan beberapa ulama memprakarsai lahirnya Organisasi PERTI untuk wilayah
Aceh.”

“Kiprah PERTI dalam membina tarbiyah umat islam Aceh sangat besar sebagai wadah organisasi yang berjuang untuk mempertahankan orisinalitas pemahaman agama islam di Aceh yang i’tikadnya
mengacu pada faham Ahlussunnah wal Jama’ah (Asy’ariyah dan Maturidiyyah) dan berfiqih dengan Mazhab Syafi’i. Hampir seluruh dayah di Aceh bernaung di bawah organisasi ini dan bersanad kepada
Abuya Muda Waly dan Abu Hasan Krueng Kalee.”

Dalam pemilu 1955, PERTI yang menjadi Partai Islam PERTI berhasil memperoleh 465.359 suara atau 1,23% dari total suara pemilih sehingga berhasil memperoleh 7 buah kursi di Konstituante (Lembaga Negara yang ditugaskan membentuk konstitusi baru untuk menggantikan UUDS 1950).

Dari 7 kursi tadi, satu jatah kursi diberikan kepada PERTI Aceh yang diwakili oleh Tgk. H. Muhammad Hasan Krueng Kalee.
Pada tanggal 14 oktober 1957, Abuya Syeikh Muda Waly Al-Khalidy dan Abu Muhammad Hasan Krueng Kalee, serta beberapa ulama lain dari seluruh Indonesia sekitar 500 orang diundang oleh Presiden pertama Indonesia, Ir. Soekarno ke Istana Cipanas untuk membicarakan status Negara RI
dan presidennya dalam tinjauan agama Islam, apakah sah atau tidak.

Dalam pertemuan itu, itu tidak semua para ulama setuju mengangkat Soekarno menjadi pemimpin negara dikarenakan dianggap tidak memenuhi persyaratan menjadi pemimpin menurut fiqh. Namun, Abuya Muda Waly menjelaskan bahwa kepemimpinan Soekarno adalah sah, dengan merujuk kitab “Tuhfatul Muhtaj”. Setelah itu
maka para peserta pertemuan membaca kitab tersebut dan juga membaca beberapa kitab yang disarankan oleh Abuya selain kitab Tuhfah. Akhirnya pertemuan itu menghasilkan pengakuan bahwa
apa yang diungkapkan oleh Abuya adalah benar.

Saat itulah Soekarno dinobatkan sebagai Presiden Pertama RI Dan Abuya Muda Waly menyampaikan Presiden Soekarno adalah Ulil Amri adh-Dharuuriy bisy syaukah. Hasil putusan itulah yang dilaporkan oleh Menteri Agama RI KH. Masykur kepada Presiden, dan Presiden Soekarno berterimakasih kepada Abu Muda Waly dan Abu Hasan
Krueng Kalee.

Abu Muda Waly dan Abu Hasan Krueng Kalee bersama ulama-ulama kaum tua lainnya yang tergabung dalam PERTI juga tidak mendukung dan bergabung dengan ulama-ulama kaum muda yang tergabung dalam PUSA dalam pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia di Aceh.

Mantan Gubernur Aceh, Alm. Prof. Ali Hasjmy menyebut Abuya Muda Waly sebagai sosok yang Nasionalis seperti dikutip dari buku Ayah Kami Abuya Syeikh Muhammad Waly Al-Khalidy: Bapak Pendidikan Aceh. Sehingga tidak heran jika Gubernur Aceh (2/9/2008) menggelari Abuya Muda
Waly sebagai Tokoh Pendidikan Aceh.

Di Dayah Darussalam, Abuya Muda Waly memformulasikan ulang sistem pendidikan pesantren di Aceh pada masa itu. Di dayah inilah pertama sekali diperkenalkan dua sistem yaitu sistem dayah tradisional dimana siswa yang mengikuti jalur ini
diharuskan untuk belajar suatu kitab tertentu hingga tamat. Sistem kedua yang diterapkan di dayah iniadalah sistem madrasah, dimana para siswanya belajar dengan mengikuti pola tertentu dan menggunakan gedung yang telah ditentukan.

Sistem ini juga tidak mengharuskan siswa untuk menamatkan suatu kitab tetapi harus aktif dalam diskusi-diskusi yang diselenggarakan di dalam kelas Abu Hasan Krueng Kalee juga dikenal sebagai pembaharu sistem pendidikan di Aceh. Abu Tgk.H. M. Hasan Krueng Kalee bersama Tgk H.Hasballah Indrapuri, Tgk H.Abdul Wahab Seulimum, Tgk Muhammad Daud Beureueh, Tgk M.Hasbi Ash-Shiddiqy,Tgk. H.Trienggadeng dll mengadakan Musyawarah Pendidikan Islam di Lubuk, Aceh Besar (1-2/10/1932) yang membahas masalah pembaruan dan perbaikan pendidikan Islam. Dayah Darul Ihsan yang dipimpin Abu Hasan Krueng
Kalee saat itu pun mengadopsi sistem pendidikan Islam tradisional moderat.

Abu Muda Waly dan Abu Krueng Kalee menjadi kharismatik bukan karena diagungkan oleh masyarakat Aceh pada waktu itu, melainkan pengorbanannya pada Aceh dan Indonesia yang begitu besar, sehingga ia diberi gelar “Ma’rifaullah” atau “al A’rif billah”. Gelar itu ia terima pada sebuah forum tingkat tinggi ulama se-Aceh, 5 Mei 2007, di Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh. Pada pertemuan itu para ulama Aceh telah sepakat, selain Abu Muda Waly dan Abu Krueng Kalee, ada dua ulama lainnya yaitu Syaikh Abdurrauf Singkil (Syiah Kuala) dan Hamzah Fansuri telah sampai pada tingkat Ma’rifatullah.

“Jika melihat syarat-syarat pahlawan nasional, saya rasa tidak ada alasan untuk tidak dapat menjadikan Abu Tgk.H. Muhammad Muda Waly dan Abu Tgk. H. Muhammad Hasan Krueng Kalee menjadi pahlawan nasional Indonesia.” ujar Wakil Ketua II PD OPI Provinsi Aceh tersebut. (Red)