Rekam Jejak Din Syamsuddin: Dulu Siap Jadi Cawapres Jokowi, Kini Motori KAMI

LINTAS NASIONAL – JAKARTA, Nama Din Syamsuddin kembali mencuat setelah membentuk Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) bersama sejumlah tokoh nasional. Tokoh Muhammadiyah itu memiliki hubungan panas-dingin dengan pemerintah Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Dilamsir dari detikcom pada Rabu 19 Agustus 2020 Din Syamsuddin merupakan putra kelahiran Sumbawa, NTB. Meski kini ia merupakan tokoh Muhammadiyah, bapak 3 anak tersebut saat kecil dibesarkan di lingkungan nahdliyin. Ia pernah mengenyam pendidikan di Podok Pesantren Modern Darussalam Gontor, Jawa Timur.

Perjalanan karirnya dimulai saat ia menjadi Ketua Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) Cabang Sumbawa pada 1970. Ia kemudian menjadi pengurus Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) pusat pada 1990.

Din menjadi Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Pemuda Muhammadiyah pada 1989-1993. Lulusan UIN Jakarta ini pun mulai masuk dunia politik dengan menjadi Ketua Departemen Penelitian dan Pengembangan DPP Golkar pada tahun 1993. Ia pun sempat menjadi Wakil Sekjen DPP Golkar pada era reformasi. Di tahun yang sama, Din Syamsuddin menjadi Wakil Ketua Fraksi Karya Pembangunan MPR RI.

Setelah menjadi Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah, Din lalu naik tingkat dengan diangkat sebagai Wakil Ketua PP Muhammadiyah untuk periode 2000-2005. Di periode setelahnya, Din terpilih menjadi Ketua Umum PP Muhammadiyah. Ia menjabat sebagai Ketum PP Muhammadiyah untuk 2 periode.

Pada periode 2005-2010, Din juga menjabat Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI). Pada 18 Februari 2014, Din ditetapkan sebagai Ketua Umum MUI menggantikan yang meninggal dunia. Pada 2015, ia digantikan KH Ma’ruf Amin sebagai Ketua Umum MUI yang baru.

Din Syamsuddin pun diketahui aktif di berbagai forum muslim internasional. Mulai dari Indonesian Committee on Religions for Peace (IComRP), lalu sebagai Honorary President pada World Conference on Religions for Peace (WCRP), chairman World Peace Forum (WPF), Chairman of Center for Dialogue and Cooperation among Civilizations (CDCC), dan sebagainya.

Presiden Joko Widodo pada 2017 menunjuk Din Syamsuddin sebagai Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Kerja Sama Antar-Agama dan Peradaban. Awalnya sempat menolak, Din pun menyanggupinya.

“Semula saya tidak bersedia karena saya sudah menjadi salah satu tokoh agama di 22 negara di Asia, artinya tugas seperti ini sesungguhnya sudah saya turuti, sudah saya penuhi, dan lebih atas nama civil society, bukan negara,” ujar Din dalam pidato di Rapat Pleno MUI di Jl Proklamasi, Menteng, Jakarta Pusat, pada 2017 lalu

Din mengatakan Presiden Jokowi sangat mengharapkan kesediaannya membantu penyelesaian masalah-masalah dunia di beberapa negara, seperti Rohingya dan Afganistan. Din menyebut dia bersama Jokowi sempat bertemu sebanyak tiga kali.

“Namun, setelah bertemu tiga kali dengan Presiden Joko Widodo, beliau sangat mengharapkan, terutama ada permintaan dari Indonesia, untuk membantu penyelesaian masalah-masalah dunia yang ada di Afganistan, Rohingya, maka saya menyatakan kebersediaan,” kata Din.

Kepada Jokowi, Din memberikan tiga syarat sebelum menyatakan kesediaan menjadi utusan khusus presiden. Syarat pertama yang diberikan Din terkait akademisi pemangku umat Islam yang tetap diperbolehkan kritis terhadap pemerintah. Syarat kedua terkait jabatan barunya, yaitu sebagai utusan khusus presiden, agar difungsikan. Syarat ketiga, Din mengatakan tak akan mengubah dirinya. Dia juga meminta tidak digaji karena niat bekerja untuk bangsa dan negara.

Saat menjadi Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Kerja Sama Antar-Agama dan Peradaban, Din menginisiasi dan menyelenggarakan Konsultasi Tingkat Tinggi (KTT) Ulama dan Cendekiawan Muslim Dunia pada 1-3 Mei 2018 yang digelar di Istana Kepresidenan Bogor.

Pada gelaran tersebut, Din memperkenalkan konsep Islam Moderat (wasathiyah) yang tumbuh dan berkembang di Indonesia pada dunia. Din menjelaskan konsep wasathiyah Islam sebenarnya adalah jalan tengah dalam bermasyarakat dan bernegara. Konsepnya dengan mengedepankan ajaran Islam yang rasional, moderat, toleran, dan bertenggang rasa.

Ada 100 ulama dan cendekiawan muslim ternama dunia yang hadir dalam event tersebut. Presiden Jokowi hadir membuka acara.

Menjelang Pilpres 2019, nama Din Syamsuddin lalu masuk bursa cawapres. Bahkan kelompok relawannya, Jaringan Matahari, mendorong Din Syamsuddin menjadi cawapres Jokowi, yang maju untuk periode keduanya.

“Kami Jaringan Matahari menyampaikan sikap mendorong Din Syamsuddin menjadi cawapres Jokowi. Prof Din Syamsuddin sosok yang lahir di Sumbawa, Din adalah sosok yang membawa Islam dalam wasathiyah. Sebagai tokoh agama, Din adalah tokoh Muhammadiyah, maka sangat penting bagi Pak Jokowi untuk menggandeng Din sebagai wapres di 2019 ini,” kata anggota Jaringan Matahari Sutia Budi saat konferensi pers di Bumbu Desa, Jalan Cikini Raya, Jakarta Pusat, Kamis 26 Juli 2020

Din Syamsuddin menyatakan tersanjung didukung relawan untuk maju sebagai cawapres. Ia juga menyatakan siap jika diminta mendampingi Jokowi sebagai cawapres di Pilpres 2019.

“Alhamdulillah saya tersanjung, siapa sih yang tidak tersanjung kalau dapat kehormatan. Kalau saya ditanya, saya siap sedia, insyaallah saya siap sedia,” kata Din seusai konferensi pers World Peace Forum ke-7 di kantor CDCC, Jalan Brawijaya VII/11, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis 26 Juli 2020.

Namun dua bulan setelahnya, Din Syamsuddin bermanuver. Ia memutuskan mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Utusan Khusus Presiden Jokowi untuk Dialog dan Kerja Sama Antar-Agama dan Peradaban. Alasannya, ia ingin netral di Pilpres 2019.

“Tadi suratnya sudah saya sampaikan dengan alasan karena pada hari ini Pak Jokowi selain sebagai tetap sebagai presiden, tapi beliau juga sebagai capres,” ujar Din Syamsuddin di acara ultah KAHMI ke-52 di gedung DPR/MPR, Senayan, Jakarta, 2018 lalu.

Din mengatakan sikap netral sama dengan Muhammadiyah yang pernah dirinya pimpin. Muhammadiyah, tegas Din, tak terlibat politik praktis.

“Sementara, satu, organisasi yang pernah saya pimpin, Muhammadiyah, sekarang juga masih pemimpin Muhammadiyah tingkat ranting, punya khitah tidak terlibat dalam politik kekuasaan. Maka dia harus bersifat netral, bukan netral tidak memilih, nanti hak pilih ya kita salurkan pada waktunya nanti,” tutur Din.

Din menegaskan tak akan memihak. Ketua Dewan Pertimbangan MUI itu menyebut dekat dengan dua bakal calon presiden, yakni Joko Widodo dan Prabowo Subianto.

“Saya kebetulan dekat dengan dua-duanya. Tentu Pak Jokowi selama hampir satu tahun saya jadi utusan khusus beliau, sering bertemu. Pak Prabowo juga saya kenal baik, sahabat lama, dulu pernah satu kantor juga itu,” kata Din.

Presiden Jokowi menghormati keputusan Din Syamsuddin dan menerima pengunduran dirinya. Jokowi lalu menunjuk Syafiq A Mughni menggantikan Din.

Sejak tak lagi menjadi bagian dari Jokowi, Din Syamsuddin mulai berbicara keras, termasuk kepada pemerintah. Saat Pilpres 2019, Din masih menjabat sebagai Ketum MUI. Saat itu, ia menegaskan MUI tidak terlibat pada politik kekuasaan.

“Kami ingin tegaskan, MUI sebagai organisasi kelembagaan tidak terlibat pada politik kekuasaan. Tidak pada posisi mendukung atau tidak mendukung. Walaupun ada Ketua MUI menjadi calon wakil presiden, MUI secara kelembagaan tidak dalam posisi mendukung atau tidak mendukung. Jadi bebas,” ujar Din gedung MUI, Jalan Proklamasi, Menteng, Jakarta Pusat, pada 2019 lalu

“Kita serahkan kepada masing-masing ormas, pada masing-masing individu sesuai hati sanubari dan literasi politik. Jangan memilih kucing dalam karung,” tambahnya.

Presiden Jokowi tak memilih Din Syamsuddin untuk menjadi cawapres di Pilpres 2019. Jokowi menunjuk KH Ma’ruf Amin, yang merupakan Ketum MUI setelah Din.

Jokowi pun kembali terpilih sebagai presiden. Din tidak mendapat posisi apa-apa di kabinet Jokowi-Ma’ruf Amin. Ia kemudian beberapa kali tampil memberi kritikan. Salah satunya terkait kebijakan larangan salat berjemaah di masjid ketika awal pandemi virus Corona (COVID-19) terkait kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB).

“Kepada Pemerintah untuk melaksanakan secara konsekuen peraturannya sendiri tentang PSBB, yakni dengan tidak mengizinkan kegiatan-kegiatan yang mendorong orang berkerumun di tempat-tempat umum. Peraturan tersebut perlu dilaksanakan secara berkeadilan, jangan melarang umat Islam salat berjamaah di masjid tapi mengizinkan orang banyak menumpuk di bandara dan tempat keramaian lain,” ujar Din dalam keterangan tertulis, Selasa 19 Mei 2020

Din Syamsuddin, yang kini menjabat Ketua Dewan Pertimbangan MUI, juga mengkritik pemerintah yang membuat acara konser musik untuk menggalang dana bagi para korban Corona. Din pun menyayangkan bantuan sembako yang diberikan pemerintah tidak merata diterima oleh masyarakat yang terdampak Corona.

“Kepada Pemerintah agar bersimpati dengan penderitaan rakyat yang mengalami kesusahan hidup karena menganggur sementara bantuan sembako tidak terbagi merata. Mengapa pada saat demikian Pemerintah justru mempelopori acara seperti konser musik yang tidak memperhatikan protokol kesehatan, dan terkesan bergembira di atas penderitaan rakyat,” katanya.

Tak sampai di situ saja. Din pun lalu membentuk Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) bersama sejumlah tokoh lainnya. Deklarasi KAMI digelar di Lapangan Tugu Proklamasi, Jalan Pegangsaan Timur, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa 18 Agustus 2020 kemarin.

Sebelum deklarasi berlangsung, Din menyebut KAMI akan menyampaikan Maklumat Menyelamatkan Indonesia. Dari 8 poin yang dibacakan saat deklarasi, mayoritas isinya kritik terhadap pemerintah.

“Maklumat Menyelamatkan Indonesia sudah kami sepakati oleh para deklarator, memuat antara lain butir-butir keprihatinan kami terhadap kehidupan kebangsaan kita terakhir ini, khususnya dalam bidang ekonomi, politik, sosial, budaya, hukum dan HAM, termasuk sumber daya alam. Kami akan menjelaskan pada setiap butir sektor dari kehidupan nasional kita itu apa yang kami nilai terjadi kerusakan, terjadi penyimpangan penyelewengan,” ucap Din Syamsuddin, di Hotel Aston, Jalan TB Simatupang, Jakarta Selatan, Sabtu 15 Agustus 2020.

Din menyebut KAMI dibentuk sebagai bentuk keprihatinan terhadap pemerintah Indonesia. Mulai dari bidang ekonomi, politik, hingga HAM. Din menjelaskan KAMI merupakan gerakan politik yang berbasis nilai moral.

“KAMI sebagai gerakan moral bersama, kita bergerak dan berjuang untuk itu, bahwa gerakan moral tidak sepi dari politik, ya, kita juga berpolitik tapi politik moral, tetapi politik berbasis nilai-nilai moral, maka mari bergabung,” kata Din dalam pidatonya saat deklarasi KAMI berlangsung.

Selain Din, hadir sejumlah tokoh nasional pada deklarasi KAMI. Mulai dari mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo, Rochmad Wahab, Meutia Farida Hatta, MS Kaban, eks Komisaris Utama PT Pelabuhan Indonesia I (Pelindo) Refly Harun, mantan sekretaris Kementerian BUMN Said Didu, Rocky Gerung, Ichsanuddin Noorsy, Syahganda Nainggolan, Marfuah Musthofa, mantan anggota komisi III DPR RI, hingga Nurhayati Assegaf.

Sejumlah pihak menyebut tokoh-tokoh yang hadir di deklarasi KAMI merupakan barisan para mantan pejabat yang dipecat di era Jokowi. Ada juga yang menyatakan tokoh-tokoh ini merupakan tokoh yang kecewa saat Pilpres 2019 dan memiliki dendam lama dengan Jokowi.

Hanya saja, deklarasi KAMI banyak disorot lantaran digelar saat pandemi virus Corona masih ada. Apalagi acara deklarasi digelar tanpa memperhatikan protokol kesehatan COVID-19, termasuk kewajiban menjaga jarak. Ironisnya, salah satu tuntutan KAMI adalah soal penanganan pandemi Corona.

Salah satu yang menyorot deklarasi KAMI adalah Satuan Tugas Penanganan COVID-19. Acara deklarasi itu dinilai menjadi zona risiko penularan virus Corona.

“Yang terkini pada hari ini ada aksi masyarakat dari deklarasi Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) di Tugu Proklamasi di Jakarta. Dan ini juga terlihat kerumunan massa yang cukup besar dan sangat berdekatan, sebagian ada yang menggunakan masker, dan cukup banyak yang tidak menggunakan masker atau maskernya digunakan dan diturunkan di dagu,” kata Jubir Satgas Penanganan COVID-19, Wiku Adisasmita, dalam konferensi pers yang disiarkan di akun YouTube Sekretariat Presiden, Selasa 18 Agustus 2020. (detik.com)